Kang Dadang, Fandi, dan Ryan 1

554 39 7
                                    

Fandi mengelap keringat di dahinya. Siang ini panas terik. Betapa enaknya kalau ia berada di dalam rumah yang berAC ini, bukan di pekarangan depan. Tapi, karena Fandi lebih junior dari Kang Dadang, rekan kerjanya di salah satu perusahaan internet di Indonesia, jadilah Kang Dadang yang menentukan siapa yang mengerjakan di dalam rumah dan siapa di luar.

Bisa dibilang 90% Kang Dadang memilih untuk di dalam. Mungkin karena di dalam adem. Tapi Fandi juga tahu Kang Dadang mungkin mau melihat, siapa tahu PRT di rumah ini neng geulis.

"Kabel aman, Kang," ujar Fandi ke HPnya yang terhubung dengan HP Kang Dadang.

"Gaskeun," balas Kang Dadang.

Tak lama kemudian rekannya itu pun keluar dari pintu depan rumah sambil membawa tas. Pekerjaan selesai. Mereka pun masuk ke dalam mobil Gran Max milik kantor.

"Ada yang bening gak, Kang?" tanya Fandi usil.

Kang Dadang tertawa terbahak. "Adanya mbok-mbok tua."

"Gagal nih. Bisa-bisa abis ini cari panti pijet," jawab Fandi. Meskipun Kang Dadang sudah menikah lama dan punya 5 anak, ia tetaplah seorang pria hidung belang. Sudah beberapa kali PRT di rumah pelanggan terperangkap pesonanya.

"Tadi pembantunya ada juga yang cowok. Masih muda, seumuran elu. Gak tertarik?" tanya Kang Dadang.

Muka Fandi merah padam. Sudah hampir 4 tahun Fandi bekerja di perusahaan ini dengan Kang Dadang, dan hubungan mereka cukup dekat hingga Kang Dadang pun menjadi salah satu dari segelintir orang yang tahu bahwa Fandi itu gay.

Awalnya karena Kang Dadang berkali-kali mau mengajaknya ke panti pijat plus-plus, namun Fandi selalu menolak. Hingga akhirnya Fandi pun mengakui. Awalnya ia mengira Kang Dadang akan minta ganti rekan. Tapi ternyata, untuk seorang pria straight Indonesia berusia paruh baya, pikiran Kang Dadang sangat terbuka.

Kang Dadang terbahak lagi melihat muka Fandi yang merah sambil menepuk pahanya dengan kebapakan. Fandi tersenyum lemah.

Mereka lanjut mengobrol ngalor ngidul hingga sampai di rumah berikutnya. Rumah terakhir hari ini. Lalu besok kantor sudah tutup karena mulai libur akhir tahun.

Fandi dan Kang Dadang memarkir mobil di depan sebuah rumah dalam kompleks elit. Pintu terbuka tak lama setelah Kang Dadang membunyikan bel.

Seorang lelaki muda Tionghoa membuka pintu. Usianya tak jauh dari Fandi, namun terlihat lebih muda. Seperti anak kuliahan. Badannya tinggi atletis, dengan kulit kuning langsat cerah. Wajahnya sangat tampan. Mirip artis Korea, pikir Fandi.

"Dengan Pak Ryan?" tanya Kang Dadang, membuyarkan lamunan Fandi.

"Betul," jawab Ryan sambil tersenyum ramah. "Silahkan masuk Pak."

Kang Dadang dan Fandi pun berjalan memasuki rumah, mengikuti sang tuan rumah. Sebuah TV berlayar besar ada di ruang tamu. Kang Dadang pun mengeluarkan kardus berisi modem baru.

"Saya proses modemnya ya Mas," kata Kang Dadang.

"Boleh Pak," jawab Ryan sambil menatap Fandi. "Saya tinggal bentar ya, mau ganti baju."

"Siap Mas," kata Kang Dadang.

Fandi menatap Ryan yang sedang naik tangga ke lantai atas. Kontolnya mulai ereksi. Cuma satu kata yang bisa ia gunakan untuk mendeskripsi Ryan: sexy.

Tiba-tiba punggung Fandi ditabok.

"Oy!" serunya kaget.

"Jangan ngelamun aja, bantuin," kata Kang Dadang sambil nyengir penuh makna. "Mau ngerjain dalem aja? Saya di luar."

Muka Fandi mulai memerah, namun makin merah padam ketika Ryan muncul kembali. Tadi saat naik, ia memakai kemeja dan celana jeans. Sekarang, hanya singlet putih dan celana dalam boxer briefs yang pendek dan ketat, mempertontonkan pahanya yang putih mulus. Bukan hanya Fandi yang terkejut, tapi Kang Dadang juga.

"Mau dibuatin minuman? Es teh manis? Nutrisari?" tanya Ryan rileks.

"Gak usah repot-repot Mas," jawab Kang Dadang agak kikuk.

"Gak papa, saya lagi sendirian juga di rumah, ga ada kerjaan," kata Ryan sambil tertawa kecil. "Saya buatin es teh aja ya."

Lalu sang tuan rumah pun beranjak ke dapur, mempertontonkan bongkahan pantatnya yang bulat, tercetak jelas di balik celana dalam.

"Dia suka sama kamu, kali," kata Kang Dadang sambil mengedipkan mata ke Fandi. Lalu giliran Fandi yang menabok Kang Dadang.

Setelah itu proses pengerjaan modem berlangsung normal. Tidak ada gerak-gerik aneh dari Ryan. Memang beberapa kali Ryan seperti sedang mempertontonkan badannya kepada Fandi dan juga Kang Dadang, tapi mungkin itu karena pikiran Fandi yang sedang jorok.

Setelah beberapa saat, tibalah waktu untuk mengecek kabel di luar rumah.

"Mau saya aja yang keluar?" tanya Kang Dadang dengan tatapan menyelidik.

Fandi langsung menolak. "Ga usah lah Kang. Saya aja," katanya kikuk.

Kang Dadang mengangguk, dan Fandi pun beranjak keluar lewat pintu depan.

Fandi hanya butuh kira-kira lima menitan untuk menyetting kabel di luar. Lalu ia pun menelepon HP Kang Dadang untuk memastikan bahwa semua jaringan tetap aman. Tapi Kang Dadang tidak mengangkat telepon. Ditelepon ulang, tetap saja tak diangkat.

Fandi pun kembali masuk ke dalam rumah dengan rasa penasaran, yang langsung berubah menjadi kejutan.

Ia melihat Kang Dadang berdiri di tengah-tengah ruang tamu, masih memakai kemeja seragam, namun celananya sudah di mata kaki. Di sebelah Kang Dadang ada seonggok singlet putih dan celana dalam boxer briefs. Fandi bisa melihat bentuk badan Ryan yang sekarang telanjang bulat, berlutut di depan rekannya. Ia mendengar suara-suara basah dan erangan pelan Kang Dadang.

Ya, Kang Dadang sedang mendapat blowjob dari Ryan.

bersambung

Ryan dan Taufik, Supirnya (REDUX)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang