Abang Bengkel Aki 5 (Tamat)

500 29 3
                                    

Sejak malam itu pun gue ngeblok Bang Agam dari WhatsApp gue. Pokoknya gue ga mau mikirin dia lagi. Untung aki mobil gue belom abis, jadi ga usah ke sana. Kalaupun abis pun, gue memantapkan diri pergi ke bengkel lain.

Gue pun berusaha move on. Meskipun gue belum punya pacar lagi, gue lanjut mencari seks di dunia maya. Ada tahap dimana gue 2-3x seminggu dientot sama cowo yang berbeda. Gue juga masih terus ketemu sama si koko Chindo itu, meskipun blowjob aja karena doi masih gak mau seks anal.

Tapi fase lonte gue pun berakhir ketika bonyok gue memutuskan untuk balik ke Jakarta selama beberapa bulan. Gak bisa lagi bawa cowo ke rumah, dan kebanyakan ga bisa hosting. Alhasil gue pun menguras energi gue dengan pergi jogging, hampir setiap malam, kecuali kalo abis kickboxing.

Di saat gue lagi jogging ini lah gue ketemu Bang Agam lagi.

Udah hampir jam 10 malam. Gue jogging di kompleks rumah. Dan gue liat seorang tetangga gue lagi ganti aki. Karena gue ngeliat motor dengan logo bengkel tempat Bang Agam kerja terparkir di depan garasi.

Gue terus jogging dengan jantung berdebar. Dan ketika gue persis di depan rumah itu, gue pun ngeliat dia.

Bang Agam.

Gue berhenti jogging. Kayak shock. Cuma menatap Bang Agam yang masih sibuk ngerjain aki sambil terpaku.

Mungkin akhirnya Bang Agam sadar ada yang lagi ngeliatin. Karena dia berbalik ngeliat gue. Penampilannya masih keren kayak dulu. Rambut klimis disisir rapi. Jenggot rapi dengan ketebalan yang pas. Mungkin agak lebih gemuk dibanding waktu itu.

Waktu itu. Waktu ketika badan kami berdua tindih-tindihan. Ketika keringet kami bercampur. Bertukar dan menelan cairan tubuh. Lidah bersilat. Senjata tegangnya merodok lubangku.

Lalu gue ngeliat pantulan warna emas dari jari manisnya. Cincin nikah. Dan gue liat Bang Agam, yang juga kaget ngeliat gue, mau ngebuka mulutnya untuk ngomong.

Di saat itu pun gue ngibrit tanpa liat ke belakang.

Gue lanjut jogging dengan jantung yang masih berdebar dan perasaan berkecamuk. Mau gimanapun, ketertarikan gue secara fisik dengan Bang Agam itu kuat banget.

Beberapa saat kemudian gue denger suara motor di belakang gue, pelan-pelan mendekat. Bang Agam. Akhirnya motornya ada di sebelah gue persis.

"Ryan?" tanya Bang Agam lembut, motornya berjalan pelan mengikuti kecepatan jogging gue.

Gue terus jogging tanpa menoleh sampe dateng ke bagian yang agak sepi, jalanan ujung samping tembok tinggi dan kavling kosong. Di sana gue berhenti.

Bang Agam memarkir motornya dan menghampiri gue.

"Gimana kabarnya?" tanyanya.

"Baik," kata gue singkat. "Oh iya. Selamat ya Bang, udah nikah."

"Iya, makasih."

"Istri di rumah?"

"Iya. Lagi hamil."

Gue tersenyum kecut. "Selamat ya Bang. Bentar lagi jadi ayah."

"Kamu ngeblok Abang ya di WA?"

"Iya."

"Kenapa?" tanyanya dengan tatapan tajam.

"Ga mau ganggu Bang."

"Kan jadi temen."

"Gak bisa Bang kayaknya," kata gue.

"Abang kangen."

Hati gue jumpalitan ngedenger itu. Dan gak tau begimana, gak lama setelah itu kita mulai berciuman.

Gue ngeberaniin diri merogoh selangkangan Bang Agam. Kontolnya tegang. Tapi Bang Agam terus ciumin bibir gue. Gak ngelarang.

"Ke rumah kamu yuk?" bisik Bang Agam di antara silatan lidah.

"Ga bisa Bang," jawab gue. "Ada ortu."

"Terus kita kemana?"

Tanpa menjawab gue menarik tangan Bang Agam ke kavling kosong, ke bagian yang paling gelap. Lalu gue mulai membuka pakaian gue.

"Gila kamu di sini..." kata Bang Agam kagum.

"Aman Bang," kata gue dengan senyum nakal, tanpa sehelai benang nutupin badan gue.

"Mau isep?" tanya Bang Agam pelan.

Gue menggeleng. "Entot aku aja Bang."

"Ngggghhhh..." lenguh Bang Agam. Ia meludah ke tangannya dan mulai fingering lubang gue.

Gue buka kemeja dan celananya hingga kontolnya nyembul. Lalu gue dorong sampe Bang Agam terbaring di rumput, kontolnya berdiri tegak.

Gue pun pelan-pelan jongkok di atas kontolnya, gerak-gerak sambil ngerasain kepala kontolnya menggesek pantat gue.

"Ati-ati kamu... Jangan sembarangan... Abang gak tahan nanti," katanya dengan napas memburu.

"Aku tanggung jawab."

"Abang gak bawa kondom."

"Gak usah Bang."

"Beneran?" tanya Bang Agam dengan muka kaget.

Gue mengangguk mantap. "Ini terakhir kali ya?"

"Iya," kata Bang Agam pelan.

Di bawah sinar bulan, di atas rumput yang lembut, di antara suara jangkrik dan suara jalanan dari jauh, badan kami yang telanjang pun bertindihan lagi. Gue kecup bibir Bang Agam dan kami bersilat lidah sambil gue ngerasain kontolnya pelan-pelan masuk ke lubang gue yang sudah basah oleh air liurnya.

Cuma butuh lima menit untuk Bang Agam klimaks, dan gue pun bersandar ke pelukannya, berdua menatap bintang-bintang di langit, tangannya yang besar merangkul dan mengelus dada gue, sambil gue rasain cairan sperma Bang Agam, sang calon ayah, mengalir di dalam badan gue.

TAMAT

Ryan dan Taufik, Supirnya (REDUX)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang