Turnamen Tenis di Sukabumi 10 (Epilog)

383 24 1
                                    

Keesokan harinya, tim kita kalah. Jadilah malam itu pulang ke Jakarta, dan sepertinya, fling gue dengan Pak Muji berakhir di sini.

Kita sempet berduaan sebentar sebelum balik. Tapi cuma ciuman aja. Dan kita berdua setuju untuk berhati-hati setelah balik ke Jakarta. Mau gimanapun, Pak Muji itu pria berkeluarga.

Setelah balik ke sekolah, gue bener-bener ngerasa gak enak sama Pak Narso. Kalo papasan, Pak Narso pun kayak buang muka gitu. Kalo gue sapa juga cuma ngangguk aja. Padahal ini bekas wali kelas gue. Guru yang paling ramah. Tapi kelakuan gue ngebuat dia segitu kecewanya.

Kalo Pak Muji sih suka ngedipin gue dengan genit, dan sekali itu pas gak ada orang, dia pernah megang pantat gue lagi. Tapi ya kita ga ngapa-ngapain juga sih. Dan gue gak berani WA dia juga.

Jadwal wisuda makin lama makin deket. Jadi akhirnya suatu siang gue memutuskan untuk ngomong sama Pak Narso. Gue gak mau lulus SMA dengan perasaan kayak gini.

Pak Narso ada di ruang guru. Dia keliatan agak kaget ngeliat gue tiba-tiba masuk.

"Pak, ada waktu gak untuk ngobrol sebentar?" kata gue. "Mau ngomongin kejadian waktu di turnamen tenis."

Pak Narso ngeliat sekeliling dengan panik. Ruang guru sih lagi kosong, tapi sepertinya ada beberapa bapak ibu guru di ruangan sebelahnya. Dia nyuruh gue diem dan ngajak gue ke ruangan kelas kosong di lantai atas.

"Ryan, apa yang bisa Bapak bantu?" tanya Pak Narso sambil nutup pintu kelas.

"Pak Narso ngehindarin aku ya?" kata gue pelan. "Aku tau itu gara-gara perbuatan aku sama Pak Muji."

Pak Narso diem aja, kikuk.

"Pak Narso itu salah satu guru favoritku lho," kata gue dengan mata agak berkaca-kaca. Ternyata ngomong gini gak gampang dan bikin baper juga. "Aku gak suka banget hubungan kita jadi kayak gini..."

Pak Narso menghela nafas tapi gak ngomong apa-apa.

"Asal Pak Narso tau, aku sama Pak Muji udah gak ngelakuin itu lagi..." kata gue lirih.

"Oke, oke. Bagus lah kalo gitu," kata Pak Narso. "Itu gak bener..."

"Maaf ya pak. Pasti Pak Narso mikir aku tuh lonte murahan," kata gue sambil ketawa getir. "Emang aku lonte."

"Hei, hei, jangan ngomong begitu," kata Pak Narso. "Bapak itu peduli sama semua murid Bapak, terutama yang wali kelasnya saya. Saya cuma gak mau kamu dimanfaatin. Bapak anggap kamu seperti anak Bapak."

Gue menatap wajah Pak Narso yang baik hati dan kebapakan dengan terharu. "Makasih ya pak, udah ngelindungin aku. Gapapa kok. Aku gak dipaksa."

"Mungkin Bapak juga harus inget kalo anak-anak Bapak mulai dewasa," kata Pak Narso sambil ketawa.

"Makasih Pak Narso... Aku gak bakal lupain Bapak," kata gue.

Sembari ngobrol gue dan Pak Narso berdiri makin deket. Lalu ia mulai mengelus pipi gue.

"Kamu baik-baik ya nanti di Amerika," kata Pak Narso sambil menatap wajah gue. "Jaga kesehatan. Jaga kelakuan. Kamu anak yang baik. Jangan lupa itu."

"Iya pak..." bisik gue.

Tanpa mikir panjang, gue mulai mengecup tangan Pak Narso dengan lembut. Lalu Pak Narso mulai meraba bibir gue dengan jari tengahnya, sampai akhirnya gue buka. Lidah pink gue keluar dan menjilat jari tengah Pak Narso.

Lalu pelan-pelan gue mulai masukin jari tengah Pak Narso ke mulut gue dan pelan-pelan maju mundur, seakan-akan lagi blowjob. Tapi ternyata cuma sebentar.

"Dah, cukup..." kata Pak Narso pelan sambil menarik jarinya. Lalu beliau menepuk-nepuk pundak gue. "Keep in touch ya."

* * *

Ryan dan Taufik, Supirnya (REDUX)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang