Minta Maaf

2K 69 1
                                    

All characters in this story are 18+ and intended for mature readers.

DM untuk join grup Telegram kami

Sejak hari Jumat terkutuk itu sampe hari Minggu, gue terus mencoba kontak Taufik. Gue WhatsApp, gak dibales. Gue telpon, gak diangkat. Fuck. Abis ini gue diputusin kayaknya.

Akhirnya hari Senin tiba, dan Taufik udah masuk kerja lagi. Gue gak sekolah, karena semingguan ini libur. Setelah bonyok gue keduanya pergi ngantor, gue pun memberanikan diri keluar dan menghampiri Taufik yang lagi nyuci mobil.

"Mas Fik?" panggil gue pelan.

Gue dikacangin. Tetep aja dia nyuci mobil.

"Mas? Jadi Mas Fik gak bakal ngomong sama aku lagi?"

Taufik menghela nafas. "Kenapa Ry?"

"Aku...aku...beneran minta maaf, mas," kata gue lirih.

Terus didiemin lagi.

"Kita gak bisa mas ngomongin ini? Aku mau ngomong sama Mas Fik..." kata gue mulai putus asa.

"Ya sudah. Nanti sorean ya. Saya ada kerjaan buat bapak kamu abis ini," katanya dingin.

"Oke mas," kata gue sedih.

Seharian gue di kamar aja sambil nonton TV, udah kayak orang depresi. Sampe akhirnya jam 5 sore HP gue bunyi. Ada WhatsApp masuk.

Yuk ngobrol, tulis Taufik singkat.

Di bawah? tanya gue.

Nggak. Kita keluar aja yuk.

Gue gak nanya lagi deh mau keluar kemana. Yang penting udah mau dulu. Gue pun ganti baju pake kaos polo sama celana pendek krem, dan gak lupa nyemprot parfum, sebelum ke garasi depan.

Mobil ternyata udah nyala, Taufik udah di kemudi. Gue pun masuk dan duduk di sebelahnya, dan Taufik langsung ngegas jalan.

"Kita mau kemana?" tanya gue.

"Ke kontrakan saya," jawabnya singkat.

"Oh? Emangnya gak apa-apa?"

"Gak papa, santai aja."

Sejak kita mulai pacaran, gue belum pernah sekalipun ke kontrakan Taufik. Letaknya sebenernya deket kompleks gue, tapi di daerah yang agak kampung. Taufik sebenernya udah beberapa kali ngajak, apalagi kita suka susah cari tempat untuk berduaan. Tapi gue biasanya segan, soalnya gue tau Taufik gak tinggal sendiri. Nanti temen-temennya bilang apa tentang kita?

Tapi gue ngerasa gue gak ada pilihan juga di sini. Udah bagus Taufik mau ngomong sama gue. Jadi ya sudahlah. Kalo dia biasa aja sama temen-temennya, mungkin gapapa juga kali.

Kita keluar kompleks dan gak berapa lama belok ke sebuah jalan kecil. Kompleks-kompleks dengan rumah-rumah gede pun berubah jadi warung-warung dan kos-kosan. Akhirnya Taufik belok lagi ke jalan yang lebih kecil lagi (cuma muat 1 mobil) yang dikelilingi rumah petak, dan akhirnya berhenti di ujung.

Gue keluar dari mobil dan ngikutin Taufik ke rumah petak yang pas di sebelah mobil. Di pekarangan depannya ada tiga laki-laki yang lagi duduk-duduk sambil ngerokok. Jantung gue mulai deg-degan.

"Wets, uda pulang si Taufik," kata salah satu dari mereka.

"Wah, ada tamu?" kata yang lain.

"Iya, kenalin ini Ryan, anaknya bos gua," kata Taufik. "Ryan, kenalin ini anak kontrakan saya. Ada Darno, Iwan, sama Hidayat."

Mereka semua nyalamin gue dengan sopan.

"Ayok, duduk," kata Hidayat, yang berambut cepak dengan logat Jawa.

"Mau rokok?" tanya Iwan, yang rambutnya agak gondrong, nawarin gue rokok Sampoerna.

"Boleh, makasih mas," jawab gue.

"Wey, anak orang lo kasih beginian!" seru Taufik bercanda.

Kita berlima pun mengobrol sebentar. Mereka semuanya sepertinya seumuran Taufik (30an awal), tapi dengan kerjaan beda-beda. Hidayat seorang satpam di ruko, Iwan seorang kurir anter barang, dan Darno kerja di bengkel mobil. Kebetulan semuanya baru pulang kerja, dan lagi ngaso sebelum cari makan malam.

Awalnya gue ngerasa kayak seekor ikan di daratan. Cuma gue yang baru umur 18, sementara babang-babang ini semua udah pria dewasa. Cuma gue yang keturunan Chinese, dengan kulit putih yang kontras dengan kulit sawo matang mereka yang makin gelap karena sinar matahari. Dan penampilan gue pun sangat berbeda sama mereka. Gue pake kaos polo merek mahal, dengan rambut wax rapi, sama pake parfum, sementara mereka semua sepertinya belum pada mandi setelah kerja seharian, dan bahkan Hidayat dan Darno dua-duanya masih pake baju kerja.

Tapi rasa deg-degan gue pun gak lama hilang, karena ketiga pria ini sangat ramah sama gue, sampe gue mikir, mungkin mereka beneran gak tau kalo gue lebih dari sekedar anak bosnya Taufik. Kita pun terus mengobrol selama kira-kira setengah jam, ngomongin segala macem, termasuk rencana-rencana gue untuk kuliah di US.

Lalu Taufik pun berdiri.

"Yuk, kita ke dalem dulu," katanya ke gue.

"Oke mas."

"Sampe nanti ya bros," kata Taufik ke teman-temannya yang lanjut ngobrol sendiri sambil ngerokok.

Gue pun masuk ke dalem rumah kontrakan Taufik. Dalemnya agak kumuh dan remang-remang. Langsung di sebelah kiri pintu masuk ada sebuah dapur, diikuti oleh ruangan dengan TV dan karpet.

"Darno sama Hidayat tidur di sini," kata Taufik, nunjuk dua kasur yang tertumpuk di ruang TV. "Kalo Iwan di kamar kanan ini."

Kita terus jalan. Di kiri ada kamar mandi dengan WC jongkok, dan di depan ada sebuah pintu kamar lagi.

"Ini kamar saya," kata Taufik singkat.

Gue ngikutin Taufik masuk ke dalam kamarnya. Lampunya putih remang-remang. Kamarnya gak terlalu besar. Ada ranjang single dan lemari baju plastik. Ada setumpuk baju kotor Taufik di lantai. Dan pastinya gak ada AC ataupun kipas angin. Ruangannya agak pengap, karena jendela pun gak ada, cuma ada ventilasi kecil di atas.

Dan yang paling gue sadari adalah, satu kamar itu bau Taufik. Bau badannya, bau keringetnya. Dan itu ngebuat gue ngaceng.

"Ayo, duduk, Ry," kata Taufik nunjuk ranjangnya. "Kita ngobrol."

bersambung

Ryan dan Taufik, Supirnya (REDUX)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang