🐡VITO Bab 14 : Terpanah🐡

51 5 0
                                    

⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️

Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.

Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪
___

"Bibi harus mencicipi ini, ini buatan Bibi Kim. Nah ... Paman Tom juga, silakan." Jemma menyajikan masakan Kim yang dibawa cukup banyak.

Kim tersenyum melihat Jemma, sebab gadis itu sungguh secerah mentari dan sehangat suasana di pagi hari. Ya, walau dia menunjukkan sikap berbeda kepada orang asing seperti dirinya pada saat baru kenal Jemma kala itu.

Jemma duduk di samping Kim dan tak lupa mengambil piring untuknya. "Terima kasih telah membawa makanan sebanyak ini, Bibi. Kau juga harus makan."

Kepala Kim menggeleng lalu berucap, "Aku sudah kenyang. Lebih baik kau tawari pria yang kau bilang hanya teman itu."

Mengerti perkataan Kim, Jemma mengalihkan pandangannya, menampilkan senyum paksa tak ramah kepada Zale. "Makanlah Zale, atau kau akan mati kelaparan!" titahnya.

"Astaga, Jemma ... kau ini! Bicara yang benar, mengapa tingkahmu selalu begitu kepada setiap pria, nanti kau bisa jadi perawan tua!" tegur Kim menyenggol lengan Jemma.

Interaksi keduanya diperhatikan oleh Pamela sedari tadi. Tampak Jemma dan orang itu sangat akrab, bahkan Kim tidak ragu menegur serta melempar candaan kepada Jemma yang dibalas serupa.

Dirinya merasa gagal. Ia tak pernah bisa jadi sosok penting bagi semua orang termasuk Jemma sendiri. Jika ditanya, Pamela amat ingin sekali dekat tanpa ada rasa gugup. Mereka terlalu kaku untuk disebut keluarga dan lebih layak Kim bersama Jemma. Sungguh pemandangan yang membuat Pamela iri.

Sedangkan Tom menyantap perlahan makanannya dengan khidmat sembari menatap sekitar menggunakan ekor matanya. Mungkin sekarang bisa dibilang kondusif karena tak ada permasalahan apa-apa, akan tetapi di posisi Pamela sendiri berbeda.

Tatapan itu sangat nanar ketika suguhan pemandangan di depan mata begitu hangat, namun juga menyakiti hati secara bersamaan. Dalam batinnya Tom berharap Pamela mau menerima semua kenyataan, bahwasanya kehidupan Jemma tak harus tentang dirinya sendiri tetapi ada pula orang lain.

Kini selang beberapa lama setelah mereka menyantap makanan bawaan Kim yang ternyata sangat enak, mereka kembali pada kegiatan masing-masing ketika Kim telah pamit pulang.

"Zale, aku mau ke dermaga, ingin ikut?" tawar Jemma disaat pria itu berpikir sejenak.

"Boleh juga. Tapi, apakah kau tidak memakai cadarmu itu?" Jemma mengerutkan keningnya dan tersenyum canggung sembari menggeleng.

Jemma berkata, "Begini saja— suatu keputusan sudah aku ambil sebelum kembali ke sini."

Pria di depannya ini menimpali, "Itu terlihat baik tanpa cadar. Kau terlihat aneh jika kain tersebut masih terpasang di wajahmu sampai sekarang."

"Hmm, kau benar. Jadi kau mau ikut atau tidak?" tanya Jemma.

"Sepertinya aku harus ikut," jawab Zale mengusap tengkuk belakangnya.

Pada akhirnya mereka berdua, berpamitan kepada Pamela dan Tom untuk pergi ke dermaga dekat rumah. Tadinya Pamela juga mau ikut, sayangnya Jemma tidak mengizinkan karena Pamela harus istirahat sampai pulih, dan baru Jemma akan mengajaknya ke dermaga.

Keduanya sekarang berjalan menyusuri tepi pantai dengan pemandangan langit sore hampir menampilkan warna jingga di atas sana. Bersama semilir angin menerpa lembut, kepala Zale menoleh melihat sosok Jemma yang amat mungil.

Rambut pirangnya bergerak risau, reflek tangannya hampir saja terangkat, namun ia urungkan niat setelah sadar. Memejamkan mata sambil menggelengkan kepala karena tingkah anehnya sendiri.

Sampai tak lama mereka telah sampai di tujuan. Dermaga tidak terpakai tersebut selalu menjadi tempat Jemma melepas penatnya di sini. Menggiring Zale untuk duduk di ujung dermaga dan mempersilahkan Zale jika ingin berenang.

"Kau bisa sepuasnya berenang dan aku ingatkan, jangan terlalu lama, karena sebentar lagi senja tiba," tutur Jemma terdengar tegas.

"Hmm, mari kita berenang bersama," ajak Zale.

"Aku takut—"

"Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu," sela Zale cepat dan membuat Jemma mengernyit bingung.

Jemma mendekati Zale dan berkata, "Aku di sini saja. Kau bisa melanjutkan kegiatanmu."

Pria itu melepaskan pakaiannya atasnya dan bagian celana luar, menyisakan dalaman celana serta bertelanjang dada di depan mata Jemma. Tampak sebuah pahatan indah terpampang di hadapan Jemma.

Gadis itu mengalihkan pandangannya. Tanpa aba-aba Zale menarik Jemma dengan tangan merengkuh tubuh sembari mengucapkan beberapa kalimat yang Jemma tak tahu. Keningnya dikecup dan barulah Jemma tersadar sebelum—

Byur!

"Bernapaslah Jemma," titah Zale seolah mengajak Jemma berbicara lewat pikiran.

Jemma yang masih terkejut sambil menahan napasnya sedari tadi mendengar baik suara Zale. Perlahan matanya terbuka dan mencoba bernapas sesuai perintah Zale, ternyata memang benar dirinya bisa bernapas dengan lega, seakan-akan ia seperti Zale.

"Hey, dengarkan aku!" Suara seruan Zale terdengar dan membuat Jemma terfokus kepada Zale seorang. Dia lantas mengatakan, "Jangan lepaskan tanganku apapun yang terjadi. Kita akan ke suatu tempat dan kau hanya boleh di dekatku sampai kita kembali ke daratan, jika kau menjauh berjarak tiga meter, maka kau akan mati kehabisan pasokan udara dan sulit bernapas."

"Mengerti?" Jemma mengangguk patuh dan menggenggam tangan Zale, bahkan ia tanpa berkata apa-apa lagi mendekatkan diri sembari memperkuat genggamannya.

Zale terdiam sesaat, gelombang rambut Jemma bak mengambang indah. Terurai memanjang begitu saja bersama kilauan cahaya dari atas permukaan memberi kesan menakjubkan. Hingga pemikirannya melayang.

'Pasti dia sangat cocok ketika memiliki wujud sama sepertiku,' pikir Zale membayangkan.

Kemudian dirinya mengajak Zale ke tempat yang telah dijanjikan. Zale hanya berharap tidak bertemu siapapun di dalam air, termaksud para kaum merman atau mermaid. Syukurnya ketika sampai di tempat tersebut, Zale tak bertemu siapapun.

Ada kelegaan di hati pria itu, membuat Zale kembali menggiring Jemma memasuki goa dan menyusuinya bersama. Tibanya mereka di dalam, Zale menunjuk ke arah atas dan berenang diikuti oleh Jemma.

Ternyata ada ruang untuk menghirup udara bebas di bawah lautan ini. Jemma masih belum menyadari karena tengah menikmati udara, sebab bernapas di dalam air dan di daratan sangatlah berbeda.

Lengannya di senggol pelan oleh Zale, sehingga Jemma menoleh dan barulah dirinya sadar akan sesuatu. Matanya bergulir ke sana kemari melihat kilauan indah. Netra gelapnya pun membesar tatkala menatap Zale, seolah ia butuh penjelasan sekaligus mau satu jika diperbolehkan.

"Ini hartaku yang aku kumpulkan selama hidup. Bisa membuat dirimu tidak perlu menjadi nelayan lagi," ungkap Zale menyampaikan maksudnya.

Mata Jemma mengerjap pelan. "Tetapi ini sangat banyak, memangnya aku tidak boleh lagi ke laut kenapa?"

Zale menarik Jemma terlebih dahulu ke arah lain dan menyuruhnya menaiki bebatua di sana. "Banyak bahaya yang tak bisa aku prediksi kalau kau tetap bersikeras untuk melaut. Mungkin di darat bahayanya adalah Ibumu, sedangkan di lautan beda lagi. Mereka bukan manusia dan kau harus mendengarkan diriku kali ini."

Guratan keseriusan tergambar jelas di wajah Zale. Jemma akhirnya mengangguk pasrah, karena Zale telah mengajaknya ke tempat harta miliknya untuk Jemma, agar tak ke lautan kembali sekedar menangkap ikan. Di sini Jemma juga mengerti, jikalau Zale bukanlah makhluk egois seperti awal yang ia pikirkan.

Jemma berterima kasih atas Zale yang mau menggantikan hasil penghasilannya, ya walau benda-benda di depan matanya ini bisa dikatakan melebihi penghasilan Jemma selama bertahun-tahun.

Sungguh Jemma sulit menebak tindakan Zale yang mendadak royal kepadanya. Ia cukup bersyukur masih di kelilingi orang-orang baik seperti Zale dan Kim, terutama Pamela serta Tom.

To be continued ....

Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang