🐡VITO Bab 38 : Berbelanja🐡

28 4 0
                                    

⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️

Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.

Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪
___

Zale melipat kedua tangannya. Wajah amat masam dan tidak enak di pandang itu, membuat Jemma mengernyit heran. Pasalnya, sedari tadi Zale terus mempertahankan ekspresinya itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun untuk sekedar menjelaskan apa yang terjadi.

"Apa ini karena Ibu tahu wujud asli mu?" tebak Jemma dan Zale menoleh sekilas lalu mengangguk pelan. "Terus kenapa kau begitu? Ibu tak mungkin membocorkan rahasia mu, percayalah Zale."

Zale memandang sinis Jemma. Dia mendengus, "Aku tahu. Namun, Ibumu memujiku cantik, bukan tampan!"

Jemma terperangah mendengarnya, keluhan Zale mengundang tawa bagi Jemma. Gadis itu tersenyum geli membalas tatapan Zale. "Wujud mu memang cantik jika ada ekornya. Ya, walaupun terkadang kau lebih mirip ikan layur," ejeknya.

Decakan kesal tercipta dari bibir Zale. Dia membuang pandangannya ke arah lain, sambil sesekali menggerutu tidak jelas. Masih tak terima dirinya dibilang cantik, padahal jelas dia ini cukup tampan dan nyaris sempurna, jika dibandingkan pria di luar sana.

Andai Jemma tahu pikiran narsis Zale, kemungkinan Zale akan habis-habisan diledek sampai Jemma menangis akibat terlalu banyak tertawa. Membayangkannya saja membuat geli sendiri.

"Sepertinya kau butuh hiburan. Bagaimana kalau kita berbelanja? Kau belum membeli pakaian baru sampai sekarang, mau ya?" bujuk Jemma mencoba mengobati kekecewaan Zale.

"Astaga, ikan tampan ku ... jangan bungkam saja, ucapakan sesuatu. Zale?" lanjut Jemma sedikit merengek.

Aroma khas gadis itu tercium oleh penciumannya, semakin hari penampilan Jemma makin tampak familiar. Entah itu siapa, Zale berharap bukan wujud seseorang yang pernah menyakitinya atau dirinya sakiti.

"Kau masih ingat es krim vanila? Aku mau ikut, kalau kau mentraktir es krim." Itu tawaran sederhana yang langsung diangguki Jemma dengan cepat.

"Ya sudah, bersiaplah. Aku menunggumu di ruang tamu," titah Jemma mengulas senyum.

Zale hanya bergumam kecil tak jelas sebagai balasan, sedangkan Jemma berniat mengajak Jay ikut bersamanya hari ini. Dikarenakan, tadi sang ibu mengurungkan niatnya untuk berbicara bertiga, Jay jadi kembali ke kamarnya lagi setelah ibu mereka berhasil membuat Jay cemberut.

Selang beberapa lama, Pamela mengizinkan Jay dan Jemma pergi. Tentunya bersama pengawal bersama mereka. Anehnya, ketika Zale bertatapan mata dengan Pamela, wanita itu seperti lebih ramah dan murah senyum.

Zale sampai bergidik mengingat pujian Pamela, Zale cantik?

🐬

Jemma termenung cukup lama. Di saat dua orang di sisinya tengah sibuk mencari pakaian dengan sikap polos Zale di zaman ini bernama Jay yang menuntun, memancing emosi aneh di diri Jemma sendiri. Ia rasa ada kesalahan dalam dirinya mengenai Zale.

Jika sedari awal Jemma biasa saja, kini malah justru sebaliknya. Ada gejala yang sulit dijabarkan bagaimana itu terjadi. Seolah dirinya mengalami kesulitan tanpa benar-benar ada orang di sekitarnya. Semua begitu aneh. Ini tentang dirinya.

Seakan solusi hanya bisa dipecahkan oleh dirinya sendiri. Berbagai pertanyaan aneh pun terlintas dan muncul beruntun. Ia menyipitkan matanya.

"Ini— kenapa ya? Zale sangat familiar, tapi dengan siapa?" pikir Jemma berkata.

Di lain sisi, Zale menoleh ke arah Jemma yang memperhatikan dirinya sedari tadi. Itu cukup mengganggu, memutuskan Zale menghampiri Jemma yang ternyata sedang melamun dan bergumam sangat kecil.

"Kau memikirkan hal mesum?" tuduh Zale mencolek bahu Jemma.

Jemma mengerjapkan matanya perlahan, ia menatap kesal pada Zale. "Otakmu tercemar apa? Itu tuduhan tidak mendasar, tahu!" ketusnya.

Zale mengedikan bahu acuh. Dia duduk di samping Jemma dan menunggu Jay yang tengah berada di toko lain bersama beberapa pengawal. "Aku merindukan lautan," ungkapnya lirih.

Jemma menoleh, ia berkedip lama kemudian tersenyum tipis seraya merangkul lenga kokoh Zale. Berucap, "Aku juga. Mau ke sana akhir pekan?"

"Memang boleh ke sana?" tanya Zale.

"Tentu boleh, aku memperbolehkan jika Ayah melarang," cetus Jemma menjawab dengan gamblang. "Kendali sekarang jatuh kepada ku, tenang saja. Semua akan baik-baik saja Zale."

Perkataannya sungguh berani dan tanpa takut. Jemma mengatakannya sambil tersenyum, membuat Zale bersyukur atas Jemma yang mau melihat lautan kembali. Terlalu memandang gadis itu, Zale menangkap cahaya kecil di kalung pemberiannya untuk Jemma.

Alisnya tampak bertaut dan wajah mengernyit heran. Kalungnya seperti memberi tahu sesuatu, namun Zale tidak mengetahui apapun mengenai kalung tersebut. Sedangkan Jemma bingung dengan tatapan Zale, ia kira Zale tengah menatap lapar dadanya yang menonjol.

Tangannya menyilang menutup dada, melemparkan tatapan membunuh, membuat Zale sadar akan kebodohannya barusan.

"Apa yang kau lihat!" Zale mendelik ketika Jemma mau memekik kencang di akhir kalimatnya. Langsung dia menutup mulut Jemma. "Hmm!"

Lihatlah, mata gadis itu seakan mau keluar dari tempatnya. "Pelankan suaramu, bodoh! Jangan berteriak, ini tempat umum!"

"Kau salah paham, aku tadi memastikan kalungnya, apa itu sungguh mengeluarkan cahaya atau tidak!" lanjutnya cepat dan melepaskan tangannya pada mulut Jemma.

Jemma meraup oksigen secara rakus, ia malu sekali ketika mulutnya mau menuduh sembarangan tanpa tahu niat asli Zale. Kepalanya menunduk dan menyentuh kalung itu.

"Sebelum aku berteriak, aku merasakan sesuatu mengganjal, jantung ku terus berdetak kencang," ungkap Jemma.

"Benarkah?" Jemma mengangguk pasti.

Zale tertegun sebentar, meminta izin menyentuh kalung itu, dan dipersilakan oleh Jemma. Belum saja menyentuh, sesuatu seperti memberikan sengatan menyakitkan ke jari telunjuknya. Rintihan Zale membuat beberapa pengawal menanyakan kondisi keduanya.

Jelas Jemma menanganinya dengan baik. Tapi, di saat dirinya melirik Zale, matanya mengarah kepada jarinya. Jari Zale tampak seperti luka bakar yang melepuh. Sedangkan Zale memejamkan matanya meredam perih di jari telunjuknya.

Untungnya, Jemma membawa salep untuk berbagai macam luka— luka hati di terkecuali kan. Sembari meniup jari Zale, Jemma perlahan mengoleskannya. Kegiatan keduanya di pantau para pengawal mereka, salah satunya mengirimkan laporan tentang kegiatan Nona Delmare di luar kediaman.

Kepala Zale menengoknya. "Memang harus setiap saat lapor? Kau bisa bekerja dengan cerdas, bukan bodoh!" tegur Zale merasa tidak nyaman karena terus-menerus diperhatikan.

Jarak antara pengawal dan dirinya sekitar tiga meter, anehnya pengawal itu mengernyitkan dahi. Tetapi tak ayal dirinya menunduk meminta maaf. Jemma melerai, "Sudahlah Zale. Telingamu jangan terlalu tajam, kasihan bawahan Ayah ku."

Zale bungkam. Dirinya baru sadar, di sini adalah tempat ramai dan Zale bisa mendengar baik suara pengawal itu. Terkadang memiliki kelebihan ini membuatnya lupa, merutuki tingkahnya sendiri yang ceroboh.

Takut kalau pengawal suruhan Tuan Delmare memberikan laporan aneh ini di sela tugas mereka. Karena kemungkinan mendengar suara kecil pengawal itu sangatlah tidak mungkin, atau Zale setelah ini bisa memastikan, perhatian Tuan Delmare kepadanya akan semakin intens.

Dirinya mengumpat dalam hati. Kini matanya beralih kepada Jemma. Gadis itu kembali meniup lembut jarinya yang terluka, sayang sekali Zale harus merasakan debaran di saat tidak tepat. Tampaknya hari dirinya akan terus memendam umpatan di dalam hati, terus-menerus.

"Kacau!" gumamnya frustasi bernada pelan dan untungnya tak terdengar oleh Jemma yang terlalu serius— wah, cantiknya gadis di sampingnya ini.

To be continued ....

Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang