Bab 51 : Di Balik Senyuman

11 0 0
                                    

⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️

Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.

Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪

(Selamat membaca sampai bosan yee, bestai onlen)💃
___

"Sudah aku bilang untuk tidak kemari, bagaimana kalau kalian terkena dampaknya pergulatan mereka?" Ansen tak habis pikir, Pamela dan Leon gigih sekali menunggu kedatangan Jemma di pinggiran pantai.

Padahal dirinya belum yakin jika kondisi di perairan mulai membaik atau bisa jadi kian memburuk. Walau kraken barusan tak lama datang, lalu bilang semuanya akan baik-baik saja, tetap Ansen tak seyakin itu untuk mempercayainya. Terlebih Jemma menimbulkan rasa skeptis pada keyakinannya sendiri.

"Anakku ada di sana, bagaimana bisa aku hanya duduk manis dan bersantai? Pasti hati ibumu kalau berada di posisiku mengerti bagaimana perasaan ku saat ini!" sahut Pamela tegas dengan sorot mata tersirat kepedihan.

Ansen berdecak kesal. Percuma membalas perkataan Pamela, sifatnya terkadang sebelas dua belas seperti Jemma, hanya saja Pamela sedikit lebih keras kepala. Bahkan, dia lupa jika keduanya adalah sepasang ibu dan anak. Memberi petuah justru dirinya 'lah terkena semburan makian wanita itu.

Sedangkan di sisi Leon, matanya melirik ke arah Zale berdiri, mencoba mengalihkan perhatian ke teman baiknya itu. Rasa lega membuatnya bernapas tenang. Kakinya melangkah menghampiri. Tangannya menepuk pelan pundak Zale seolah memberikan sengatan kesadaran, sehingga temannya itu tersentak.

"Dia belum terlihat, kita telah berjanji bertemu di sini," jelas Zale bernada lirih pada akhirnya. Kedua bahu kokohnya sedikit turun bersama kalimat suara hati.

"Tunggu saja. Aku percaya Nerida bisa mengalahkan Mirdin," ucap Leon. "Jika aku percaya padanya, kau pun juga semestinya begitu."

"Andai aku menerima Mirdin secara baik, kejadian seperti ini takkan terjadi pada kita semua. Kepekaan terhadap perasaan seorang gadis dapat menghancurkan cara pikir ku sekarang." Zale mengeluh, tapi terlihat tidak ikhlas jika dirinya dulu menerima Mirdin.

Leon sendiri mendesah kesal. Entah mengapa dirinya ingin memaki habis-habisan Zale karena terlalu naif dan kepalang bodoh. "Ck, kau benar-benar. Andai kata sejak awal kau menerima Mirdin, siapa orang pertama yang terluka karena tindakanmu, apa itu aku? Jelas bukan, tentu saja ialah Nerida. Kau sendiri sadar betul. Dan kejadian tragis menimpa kehidupan kita, terjadi karena takdir sudah tertulis rapi layaknya skenario. Lucunya, kau hanya menilai sebelah mata, Zale."

"Haah ... terlebih, kau menyukai Nerida. Jadi, jangan menghindar," tambah Leon setelah menghela napas.

Kepala Zale menoleh sebentar ke Leon, menatap lemah sang teman, seolah kini tenaganya sungguh terkuras emosi. Rasa lemas bercampur remuk diakibatkan perlakuan Mirdin belum juga hilang di tubuhnya. Lalu dia berkata, "Bahkan, aku tidak yakin kalau Jemma memiliki perasaan sama denganku."

Sampai situ Leon tertegun. Dia memilih diam sembari membuang pandangan ke depan. Ternyata kedua temannya belum pernah memastikan perasaan keduanya bagaimana atau memang hanya Zale mencintai Jemma secara sepihak. Dia benar-benar bergeming di tempat pijakannya. Membayangkan hal tersebut sebenarnya amat miris.

Bagi Leon, Zale layaknya saudara dan dia menyadari perasaan Zale kepada Jemma. Hingga dirinya merutuki, betapa pedas kalimat barusan terlontar teruntuk Zale seorang.

Mereka pun saling mengatupkan mulut masing-masing, diselingi angin tertiup lembut menambah kedinginan menusuk kulit mereka abaikan. Jikalau berkenan, Zale ingin angin itu membawanya pada Jemma secepatnya. Lelah rasanya menunggu sangat membosankan, sebab, kesendirian mulai mengusiknya.

Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang