🐡VITO Bab 22 : Membasmi Hama🐡

31 4 0
                                    

⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️

Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.

Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪
___

"Apa Jemma sedang ada masalah?" tanya Kim cemas.

Tom menghela panjang seraya mengangguk mengiyakan. "Benar Nyonya Kim, Nona Jemma tengah dirundung masalah bertubi-tubi sejak hari penculikan Nyonya Pamela terjadi."

"Aish ... bagaimana anak itu mengalami hal pahit seperti ini? Malah dulu dirinya sangat terlihat bahagia dengan senyum menawannya," gumam Kim pelan. Keceplosan?

Mata Tom menyipit. Dulu? Setahunya Jemma tidak pernah menunjukkan hal seperti itu, seakan Kim menceritakan kalau Jemma memiliki sikap terang-terangan menunjukkan senyum menawannya.

Padahal Pamela dan dirinya tahu jika Jemma mempunyai topeng setebal baja, bahkan senyum menawan seperti Kim gumaman tetap tak semenarik itu, walau dirinya akui jika Jemma memang cantik.

"Nona tidak pernah begitu, anda mengenal Nona sejak kapan Nyonya?" Kim tersentak mendengar pertanyaan Tom.

Dia menunjukkan gelagat aneh dan terkekeh sambil menggeleng kikuk, tetapi hatinya kini merutuki omongannya yang asal bicara saja. Bisa celaka dirinya nanti kalau keceplosan lagi seperti barusan. Diam-diam dia merutuki kebodohan dan keteledoran dirinya.

"Saya tidak mengatakan apa-apa, lupakan. Omong-omong, di mana Jemma?" Tangan Kim mengibas sesaat dan mengalihkan pembicaraannya sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Jemma. "Apa Jemma berada di dermaga?"

"Mungkin, karena dari kemarin Nona hanya mau menyendiri di sana. Setidaknya ada Tuan Zale di sampingnya, Tuan sangat pengertian hingga Nona tak mengusirnya, dan berbeda kalau itu saya sendiri."

Kim mengerti, tetapi dirinya kian tidak enak semakin hari. Apakah sesuatu buruk akan datang pada Jemma? Bagaimana kalau perasaan buruknya menjadi kenyataan?

Hah, Kim harap itu cuman perasaan tak berarti.

Di lain tempat.

Jemma mengayunkan kakinya di bawah dermaga. Merenung menunggu hasil dari rumah sakit, dikarenakan Jemma segera melakukan tes DNA untuk memastikan sebuah ikatannya selama ini.

Jika benar Myra bukan ibu kandungnya, lantas apa maksudnya mengambil dirinya dari Pamela?

Bahkan Jemma melihat dengan kedua matanya sendiri di kala Pamela dibawa paksa oleh orang-orang yang neneknya perintah. Diperlakukan tidak manusiawi, layaknya hewan- ralat, benda mati.

Pikirannya jadi melayang mengingat kondisi adiknya.

"Hari ini laut sangat tenang, sampai aku menjadi takut dibuatnya," kata Zale tiba-tiba memecahkan keheningan.

"Untuk apa kau takut, kau kan makhluk air," sela Jemma tak terima.

Kepala pria itu menoleh memandang rumit sosok Jemma, mata kelamnya tersebut berkabut kesedihan sepanjang hari.

"Bisa saja lautan akan menenggelamkan diriku dalam ketenangan. Membawa ku kepada Maha Kuasa, di saat aku sendiri belum siap."

Jemma berdecih, "Aku kira kau tidak memiliki keyakinan."

"Justru aku suka melihat lautan tenang seperti ini. Dia tampak menarik, seolah menyuruhku berenang sebentar saja di permukaannya," ujar Jemma menatap balik manik cerah Zale.

"Itu akan membunuhmu, Jemma-"

"Maka akan ku jadikan kematian sebagai hal terindah di lautan lepas ini, andai saja kehidupan kita tertukar, pasti aku melupakan tentang kehidupan ini tanpa harus bertemu mereka yang menyakiti ku. Dengan begitu aku tidak terbunuh ataupun lenyap, Zale."

Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang