⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️
Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.
Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪
___Semua orang telah tertidur lelap, mengarungi alam mimpi masing-masing. Meninggalkan kedua insan di teras rumah yang berbagi kehangatan dengan selimut berukuran lebar, cukup menampung keduanya. Gadis itu terjaga di tengah malam ini, kantuk belum juga datang menghampiri.
Tak baik baginya menerima kebahagiaan berlimpah di hari berarti selama hidupnya ini. Keinginan mempunyai sosok ibu yang tulus dan perhatian, seolah itu masih menjadi sebuah mimpi, nyatanya memang begitulah kejutan dalam kehidupan.
Dan kini, Jemma mutuskan menemani Zale di teras sambil membawa selimut yang ia bawa, ia memandang lurus ke depan. Mengeratkan selimut membalut sebagian tubuh. Seulas senyum tipis sulit dikondisikan di wajah cantiknya.
"Zale, apa kau dulu memiliki orang tua?" Itu terlintas dipikiran Jemma, ia ingin mengenal Zale lebih dekat.
Pria itu mengedikkan bahu nampak acuh. "Entahlah, aku lupa bagian itu," balas Zale seadanya.
Jemma menoleh ke arah Zale dan memiringkan kepalanya 'tuk memperjelas melihat wajah Zale sendiri. Alisnya bertaut heran, seharusnya momen bersama keluarga lah yang seseorang ingat dengan baik dan juga jelas. "Kau yakin? Orang tua terdiri dari Ayah dan Ibu."
Zale melihat Jemma lewat sudut matanya secara sinis. Gadis itu seakan berpikir, jika dirinya tak tahu apa itu orang tua. "Aku juga tahu itu, bodoh!"
"Ck, kasar sekali. Padahal aku ingin tahu!" cibir Jemma merespon.
Di posisinya, Zale turut bingung sekaligus berpikir sejenak. Bagaimana dirinya bisa melupakan kedua orang tuanya, hanya ada ingatan menyakitkan tentang teman-temannya saja, beserta hal buruk sebelum menimpa hidupnya jadi begini seperti sekarang.
Semua terlalu rumit dan susah dicerna. Zale kehilangan beberapa ingatan penting lainnya, kemungkinan itu adalah mengenai orang tua kandungnya selama ini. Bisa jadi Zale tanpa sadar memilih untuk tidak mengingatnya secara paksa melalui alam bawah sadarnya sendiri.
"Bukankah kau memiliki sosok Ayah?" tanya Zale mengalihkan pembicaraan.
"Ah, dia ya?" Jemma mengangguk mengingat ayahnya yang sempat dilupakan beberapa waktu. Kemudian ia membalas, "Tentu aku punya. Beliau sangat baik."
Mendengar itu, Zale tertawa kecil sebagai sarat meledek. Berkata, "Saking baiknya, dia dibodohi oleh ibu palsu mu itu, ya?"
Jemma tak marah, justru dirinya mengiyakan perkataan Zale. "Ya, kau benar. Terlalu baik, sampai mudah dibodohi."
"Seharusnya kau menjaga ayahmu," celetuk Zale menasehati.
"Dia bukan anak kecil Zale," tolak Jemma dengan halus. Tidak urung ia membenarkan pernyataan Zale lagi. "Ck, aku harus apa?"
Zale mulai berpikir. Semestinya Jemma sendiri yang tahu harus berbuat apa, itukan orang tuanya. Dalam hati Zale merutuki kebodohan Jemma. Cantik saja ternyata tidak cukup!
"Jauhkan dia dari ibu palsu mu mungkin lebih tepat," usul Zale.
"Ada benarnya juga. Aku—"
Tangan Zale memberi isyarat kepada Jemma untuk diam, sebab Zale merasakan kehadiran seseorang di sekitar mereka. Lantas Jemma yang mendapat isyarat dari Zale pun mengatupkan bibirnya rapat.
Zale menyuruh Jemma agar segera masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Supaya Zale tak kerepotan menangani sosok misterius yang kini tengah bersembunyi. Jemma lagi-lagi menurut, takut membuat Zale marah kepada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [on going]
Fantasy___ Gadis ini menjalani hari dengan rasa lapang dada. Tiada hari tanpa cobaan melanda dirinya. Walau dicap sebagai orang aneh dan buruk rupa serta perlakuannya yang tergolong kasar, ia akui dirinya hebat bertahan sampai sekarang. Langkahnya memang s...