"Mas Rama suka kali sama lo." Ujar Sara saat aku menceritakan tentang Mas Rama yang tiba-tiba memberiku secangkir kopi semalam. Aneh, interaksi kita selama ini hanya sekedar saling menyapa saja, itupun karena Mas Rama sering bersama Mas Rian. Entah kenapa sejak bertemu dengan Mas Rama di mall waktu itu, dia jadi lebih sering berbasa-basi kepadaku, padahal sebelumnya yang ia lakukan hanya melemparkan senyum saja.Aku memasuki ruangan yang dipenuhi aroma kopi yang harum dan Sara mengikuti langkahku dari belakang. Selain kafe yang berada di dekat rumah, tempat ini juga adalah salah satu tempat istimewa bagiku, bukan hanya karena racikan kopi yang khas, tetapi juga karena nuansa hangat di setiap sudutnya. Di sudut kafe yang nyaman ini, terhampar sebuah perpustakaan kecil yang menungdang para pelanggan untuk merenung di tengah kata-kata yang mengalir, seiring dengan kopi yang menyusup keluar dari mesin. Barisan rak buku menyuguhkan ragam karya sastra dengan puluhan judul.
Namun, tantangannya adalah jarak tempat ini yang cukup jauh dari rumah. Aku harus menyetir selamat 30 menit, terkadang lebih, belum lagi hambatan macet di sepanjang jalan.
"Ngaco lo," dengusku mendengar celetukan Sara yang dirasa tidak masuk akal itu.
Tanganku meraih satu buku yang terselip di antara puluhan buku lainnya, "dia mungkin hanya bersikap baik sama teman Mbak Hera." Alasan ini rasanya cukup masuk akal, meskipun benakku menolaknya.
"Jadi maksud lo dia baik karena lo adalah teman dari pacar temannya?" tanyanya, perkataannya membuatku bingung, "firasat gue dia suka sama lo." Lanjutnya.
"Sar, he's enganged." Ucapku, menyimpan buku dan berjalan ke arah meja kosong yang mengarah langsung ke luar jendela.
Sara menghela napas, dia kemudian duduk di sampingku, "Wi, lo cerita ini ke gue sebenernya mau apa?" tanyanya, "gak mungkin lo ceritain ini kalo gak ada sesuatu."
"Mata lo tuh berbinar kaya kucing yang dikasih tulang ikan, fix lo suka sama dia." Lanjutnya lagi.
Iya, aku hanya ingin menceritakannya karena jantungku kembali berdebar untuk seseorang. Aku hanya senang karena akhirnya aku bisa merasakan debaran itu lagi. Padahal, apa yang dilakukan Mas Rama sederhana, dia hanya memberikanku secangkir kopi. Dia mungkin hanya bersikap baik karena aku termasuk teman Mbak Hera. Mungkin begitu bukan? Tapi, Mas Rama juga tidak sedekat itu dengan Mbak Hera sampai dia harus memberi perhatiannya kepadaku yang merupakan teman Mbak Hera.
Aku takut, takut menyukainya karena dia baik kepadaku.
"Cih, perumpaan lo tuh enggak banget, masa gue disamain sama kucing." Protesku tak terima.
"Gak ada salahnya buat coba cari tau, Wi." Kata Sara, "lo udah bukan remaja yang sering main tebak-tebakkan kalo lagi ada di fase suka sama orang."
Aku terdiam, membenarkan ucapannya sambil merenung. Ya, tidak ada salahnya.
"Mbak Hera bilang, tunangannya udah meninggal kan?" tanya Sara.
Aku tidak menjawab, hanya menggoyangkan cangkir di tanganku dan melihat bagaimana cairan coklat itu bergerak di dalamnya, "gue abis ini mau jemput Aruna di tempat les, lo mau ikut?" tanyaku, mencoba mengubah arah pembicaraan.
Sara menggeleng pelan, "gue mau ketemu Reno, semalem dia ngajak gue ke acara ulang tahun kakaknya."
Aku mengangguk paham, "lo mau cari kado sama dia? Bukannya kalian lagi berantem?" tanyaku
"Reno dengan segala caranya, setelah dua hari menghilang tanpa kabar dia tiba-tiba ada di depan pintu apartemen gue." ujarnya. Reno dengan segala caranya, aku ingin tertawa mendengar kalimat itu. Banyak sekali cerita unik yang Sara ceritakan kepadaku tentang Reno, pria itu bahkan tidak segan-segan memanjat jendela kamar Sara kalau gadis itu tidak mau membukakan pintunya.
"Cowo lo tuh udah cinta mati, bahkan udah ditahap gila." Godaku, kami berdua tertawa dan mengingat kembali cerita-cerita di masa lalu yang tidak akan pernah bosan setiap kali dibahas.
***
Tanganku tiba-tiba ditarik saat aku baru saja keluar dari lift, tubuhku dibawa berlari dan berbelok menuju ruangan Divisi Finance, aku berusaha melepaskan genggaman Kia untuk meminta penjelasan. Perempuan itu kemudian berhenti dan menatapku dengan panik.
"Kenapa sih, Ki?" tanyaku.
"Mbak liat aja di sana, Mbak Hera berantem sama Hana." Jelas Kia.
Hana adalah Admin dari Divisi Finance, konon menyukai Mas Rian sejak lama, bahkan sebelum Mbak Hera masuk ke perusahaan, mereka sudah lebih dulu dekat. Aku tidak tahu jelas bagaimana ceritanya, hanya saja hubungan mereka pernah sedekat itu sampai Mbak Hera datang dan menjadi kekasih dari Mas Rian.
Tapi yang pasti Hana tidak pernah menyukai Mbak Hera, perempuan itu sepertinya memiliki dendam karena Mbak Hera yang menjadi kekasih Mas Rian.
Aku berdiri di ambang pintu dan mendapati Mbak Hera dan Hana yang saling menjambak, keduanya berusaha dipisahkan oleh beberapa orang. Dengan cepat aku masuk menembus kerumunan dan menarik Mbak Hera dalam satu kali sentakan.
Ketika aku menariknya, aku merasakan tubuh Mbak Hera yang gemetar, napas perempuan itu naik turun, ekspresinya campur aduk, terlihat kesal dan sedih. Matanya yang biasanya cerah, kali ini dipenuhi dengan amarah.
"Udah, Mbak." Aku menahannya saat ia mencoba melepaskan diri untuk maju kembali ke arah Hana. Aku mencoba menenangkan Mbak Hera sambil menatap Hana yang masih terlihat marah.
"Gue gak tau cinta bisa bikin orang jadi sepicik itu," ujar Mbak Hera.
"Kalian yang ciuman kenapa gue yang disalahin di sini?" Bentak Hana, "lo sendiri yang selingkuh sama Mas Rama."
Seiring berjalannya waktu, suasana di ruangan malah semakin memanas. Beberapa rekan kerja yang sebelumnya hanya jadi penonton, kini ikut campur unntuk meredakan situasi. Mbak Hera masih terlihat emosional dan Hana tampaktnya tak berniat untuk membiarkan masalah ini berlalu begitu saja. Sementara itu, para atasan dan manajer mulai berdatangan memasuki ruangan, dengan cepat aku menarik Mbak Hera keluar untuk masuk ke ruangan kami.
"Ada apa sih, Mbak?" tanyaku penasaran, aku melihat Mbak Hera merapikan rambutnya yang berantakan.
Kami sudah duduk di depan komputer masing-masing, mata Mbak Hera masih terlihat nyalang, aku yakin dia belum puas dengan apa yang sudah tadi ia lakukan.
"Tadi gue gak sengaja dengerin obrolan si cewek sialan itu di toilet, dia bilang kalo waktu itu dia sengaja bikin gue ciuman sama Rama." jelasnya, "gue gak terlalu inget detailnya gimana karena gue udah gak sadar waktu itu, Wi."
Aku mencoba mencerna apa yang tengah Mbak Hera sampaikan, perempuan itu menjambak rambutnya dengan frustasi, "tapi yang jelas dia yang bikin gue sama Rama ciuman."
"Bentar-bentar, jadi semuanya ulah Hana?"
Mbak Hera mengepalkan tangannya di udara, "harusnya gue jambak rambutnya sampai botak."
Aku melihat Pak Yana keluar dari ruangan Mas Rian, dengan memegang pel di tangannya Pak Yana menghampiri kami, "Bu Hera, dipanggil Pak Rian ke ruangannya." Ujarnya.
Aku melirik ke arah Mbak Hera yang merapikan bajunya, ia kemudian melenggang pergi memasuki ruangan. Tak lama setelah itu aku juga melihat Hana menyusul masuk, sepertinya mereka berdua akan di sidang hari ini.
***
Hai hai, aku hari ini mau double update hhihihihi.
love, mozarellacheese. 30 Januari 2024 09:24
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
Roman d'amourDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...