CHAPTER XX— Unanswered Queries: Where is him? (PART II)Aku menekan tombol ALT+F4 secara bersamaan, tak lama kemudian layar komputer berubah menjadi hitam. Hatiku berdegup kencang, dipenuhi dengan kepanikan dan keinginan yang mendesak untuk segera pulang ke rumah. Aku ingin memastikan Mas Rama baik-baik saja.
Dengan gemetar, aku merapikan nota-nota yang berserakan di meja dengan tergesa-gesa. Rasanya seperti waktu berjalan terlalu lambat. Mbak Hera, yang sedari tadi memperhatikan turut membantu merapikan dokumen-dokumen yang ada di mejaku.
"Rama masih belum bisa dihubungi?" tanyanya, sementara aku memasukkan nota-nota itu ke dalam laci.
Aku menggelengkan kepala dengan cemas. "Gak ada, Mbak," jawabku pelan, "yang bikin gue khawatir karena gue lihat tadi mobilnya ada di belakang gue, Mbak." Tambahku, nadaku sudah kentara sekali terdengar panik. Aku bahkan tidak peduli orang-orang mendengarnya atau tidak.
Mbak Hera mengangguk paham, ekspresinya mencerminkan kekhawatiran yang sama, "lo bisa hubungi gue kalo nanti dia masih gak ada di rumahnya." Ujarnya.
Aku mengangguk, tak lama dari situ aku mendengar suara pintu terbuka, Mas Rian datang menghampiriku dengan wajah yang tak jauh paniknya, "Wi, di rumahnya gak ada?" tanyanya kepadaku.
Aku menggeleng tidak tahu, aku pulang saja belum, bagaimana mau mengetahui kalau Mas Rama ada di sana atau tidak, "lo lihat sendiri gue masih di sini, Mas." Jawabku.
Aku melihat ke arah Mbak Hera, aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara ketika melihat keduanya bertatapan. Pandanganku terus berindah dari Mbak Hera yang tampak canggung, menuju Mas Rian yang baru saja datang dengan ekspresi panik.
Sementara itu, kecanggungan antara Mbak Hera dan Mas Rian semakin mencuat saat mereka saling bertatapan. Aku merasa terjebak di tengah-tengah situasi yang tidak nyaman, seolah menjadi saksi bisu dari ketegangan yang terjadi di antara mereka. Meskipun begitu, aku tetap berusaha menjaga ketenangan, meski hatiku semakin gelisah dengan tidak adanya kabar dari Mas Rama.
Mas Rian mengusap wajahnya dengan gerakan cepat, kekesalan yang terpancar jelas dari ekspresinya."Si tai nih kemana sih? Ini gak akan gue anggap gawat kalo nyokapnya gak nelpon terus." Keluhnya dengan nada yang sedikit bergetar.
Aku tidak menyangka Mas Rian juga akan sepanik ini. Tapi, secara tidak terduga, pernyataannya membuka mataku tentang kedekatan antara Mas Rama dan Mas Rian yang tidak aku sadari. Mungkin ini memang masala serius.
"Wi, gue duluan ya, kalo ada apa-apa lo hubungi gue," Mbak Hera tiba-tiba pamit, aku yang menyadari situasi canggungnya dengan Mas Rian pun menganggukkan kepala, "hati-hati ya, Mbak."
"Duluan, Mas." Setelah pamitan kepada Mas Rian yang juga terlihat kikuk, Mbak Hera melenggang pergi, tenggelam di balik pintu dengan kaca tebal itu.
"Wi, lo cek nanti di rumah neneknya, ya? gue mau cek di apartemennya. Kalo masih gak ada kabar, lo langsung hubungi gue ya." katanya dengan nada serius.
Neneknya? Jadi rumah itu bukan milik Mas Rama ya? aku ingin sekali bertanya, tapi kuurungkan niatku karena aku harus segera pulang.
***
Dan di sinilah aku berdiri, tepat di depan rumah Mas Rama, dengan helm yang masih setia terpasang di kepalaku. Langit malam telah menutupi langit dengan gelapnya, hanya remang-remang cahaya dari lampu jalan yang menyindari sebagian kecil jalan. Aku menatap rumahnya yang tampak terabaikan, dengan jendela-jendela yang tertutup rapat dan pintu yang tidak menunjukkan tanda-tanda kegiatan di dalamnya.
Rumah itu menyiratkan kesunyian, semuanya gelap tanpa ada satupun lampu yang menyala. Suasana di sekitar rumah terasa hening, hanya dihiasi desiran angin yang lembut dan langkah-langkah kecilku yang pelan. Hatiku berdebar kencang, dipenuhi oleh kekhawatiran tentang keadaan Mas Rama. apakah dia baik-baik saja? Mengapa rumahnya terlihat begitu sepi?
Aku melangkah maju, menekan bel yang berada di dekat pintu, perhatianku tersita pada pintunya yang kini sudah memakai smartlock, oh dia tidak akan melupakan lagi kunci rumahnya lagi setelah ini.
Aku kembali menekan bel pintu sambil memanggil namanya beberapa kali dari luar, bahkan sesekali aku menggedor pintunya. Tapi rasanya percuma, sepertinya dia memang tidak ada di rumah.
"Owi ngapain disitu?" itu bukan jawaban yang aku dapatkan dari arah dalam, melainkan dari arah rumahku, Aruna sedang berada di halaman rumah dengan buku di tangannya, gadis itu memandang heran ke arahku.
Aku melangkah mendekat ke arahnya, "kamu liat Mas Rama?" tanyaku, berharap gadis ini mengetahui keberadaan Mas Rama, mengetahui kalau Aruna suka meminjam buku kepada Mas Rama..
"Aku belum liat Om Rama pulang," jawabnya, "bukannya akhir-akhir ini suka bareng Owi ya?" Aruna balik bertanya kepadaku.
Alih-alih menjawab, aku malah melemparkan pertanyaan kepadanya, "kamu keberatan gak Owi tinggal sebentar?"
"Gak papa, Bu Lila bentar lagi ada kesini kok." Ucapnya, Bu Lila memang kadang suka berkunjung ke rumah, entah itu mengirim makanan atau sekedar mampir saja, aku terkadang juga suka menitipkan Aruna kalau aku pulang terlambat karena lembur.
Sebelum neninggalkan halaman, aku menghubungi Mas Rian sesuai permintaannya, mengabari kalau Mas Rama juga tidak ada di rumah ini. Dia kira-kira kemana? Kenapa tiba-tiba tidak ada kabar begini? Apa berharap dia pulang secepatnya agar rasa cemasku menghilang.
"Ya udah, nanti kalo dia pulang gue kasih kabar ya, Mas." Ujarku pada Mas Rian yang berada di seberang sana. Dia juga baru saja mengabariku kalau Mas Rama tidak ada di apartemennya.
"Firasat gue dia gak akan pulang sih, Wi." Aku mendengar suara Mas Rian menyaut dari sana, "ini bukan sekali-dua kali kaya gini," tambahnya membuatku mengerutkan keningku.
Aku melirik ke arah Aruna, menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah lewat isyarat mataku, seolah mengerti Aruna langsung menghilang dari hadapanku dan menghilang bersama buku tebalnya itu.
"Jadi, ini bukan pertama kalinya?" tanyaku pelan, kalau ini sudah menjadi hal biasa, kenapa Mas Rian juga sepanik itu?
"Ini pasti ada sangkut pautnya sama tunangannya," ucapan Mas Rian membuatku terpaku, tunangannya?
"Sekali lagi, makasih ya, Wi," Mas Rian tiba-tiba berterima kasih tanpa melanjutkan kalimat yang membuatku penasaran tadi, "gue jadi ngerepotin lo hari ini karena nyuruh lo buat cek Rama."
Dari gelagatnya, Mas Rian sepertinya belum mendengar tentang gosipku dengan Mas Rama di kantor. Bukankah aku juga harus direpotkan kalau Mas Rian tahu aku dekat dengan Mas Rama belakangan ini?
"Mas, lo bilang ini bukan sekali-dua kali kan?" aku mencoba menyuarakan rasa penasaranku.
Aku tidak mendengar suara sama sekali, tak ada sahutan dari Mas Rian kembali, membuatku mengernyit bingung, rasa cemasku bertambah berkali lipat.
Aku mendengar helaan napas di ujung sana, "Wi, gue gak bisa jelasin gimana situasinya, tapi lo tenang aja, dia pasti baik-baik aja." Lanjutnya, suaranya terdengar lebih tenang dari tadi membuatku curiga.
"Mas, lo tau dimana dia sekarang kan?" tanyaku padanya.
"Dia udah aman, Wi, sekali lagi makasih ya." panggilan terputus begitu saja, itu tidak membuatku puas sama sekali. Tapi satu hal yang pasti, aku sudah mengetahui Mas Rama aman, paling tidak itu membuat hatiku sedikit lebih tenang.
Aku hanya sedikit kecewa, kenapa dia tidak ada mengabariku padahal dia sendiri menawarkan sebuah hubungan yang serius padaku, meskipun menginginkan pelan-pelan tapi aku mau memulainya dengan benar. Bukankah komunikasi itu sebuah kunci dalam hubungan? Kalau dia bersikap seperti ini, bagaimana bisa aku percaya kepadanya? Apalagi konteksnya dia seperti ini karena tunangannya? Bukankah ada yang belum selesai, tapi kenapa dia menawarkan sesuatu seperti itu kepadaku?
Aku menyingkirkan anak-anak rambut yang mulai menusuk mataku, malam ini aku ada janji untuk bertemu Mbak Hera, jadi aku memutuskan untuk meneleponnya. Suara tersambung terdengar, aku menunggu Mbak Hera mengangkat teleponnya sampai suaranya menyapa dari ujung sana.
"Halo, Wi."
"Mbak, gue ke apartemen lo sekarang ya." Sebentar saja, aku ingin melampiaskan semuanya malam ini.
Tapi sebelum berangkat, aku memastikan terlebih dahulu kedatangan Bu Lila untuk menjaga Aruna sampai aku pulang.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
RomanceDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...