CHAPTER XXXII-Mystery: The Voice on the Line (Rama's Pov)

1K 52 0
                                    

CHAPTER XXXII—Mystery: The Voice on the Line

Dalam seminggu ini, gue menghabiskan waktu untuk menyibukkan diri di kantor, dibantu oleh Bastian, gue mempelajari hal-hal baru yang sebelumnya tidak gue mengerti. Setiap pagi, gue berangkat lebih awal, berharap bisa menyerap sebanyak mungkin ilmu dari Bastian. Dia sudah bekerja di perusahaan ini selama bertahun-tahun dan memahami setiap seluk-beluk bisnis properti. Dari proses pembelian tanah sampai pengembangan proyek besar, Bastian selalu sabar menjelaskan semua detailnya.

Di kantor, suasana selalu sibuk. Telepon berdering tanpa henti, rapat-rapat yang padat dan tumpukan dokumen yang harus diselesaikan. Gue juga belajar cara bernegosiasi dengan klien, menganalisis pasar dan mengelola proyek-proyek yang sedang berjalan. Tapi, yang gue syukuri dari kesibukan gue sekarang, bokap tidak pernah lagi memaksa gue untuk hadir di acara makan malam keluarga—gue selalu memakai sibuk bekerja sebagai alasan, dan tentunya dia tidak pernah protes, toh ini kan yang dia mau dari gue.

Tapi, sialnya meskipun begitu, acara pertunangan tetap akan dilanjutkan dalam beberapa hari mendatang. Mengingat itu, nama Ayleen selalu terlintas dalam benak gue. Di saat lelah dan banyak pikiran begini, gue butuh pelukan dan usapan tangannya di kepala gue untuk menenangkan segala kerisauan yang ada. Setiap kali gue melihat foto-foto kami atau sketsa wajahnya, rasanya seperti ada lubang di hati gue yang semakin menganga.

"Halo calon tunanganku," Kinara datang tanpa permisi, tanpa ketukan pintu dan tanpa sopan santun. Dengan kurang ajarnya dia melangkah ke arah gue dan menggelayut manja di leher gue.

Gue merasa risih, tapi gue terlalu malas menguras tenaga untuk orang sepertinya.

"Mami sama Papi ngabarin aku barusan, mereka katanya gak bisa dateng di acara pertunangan kita," lanjutnya sambil mencoba merangkul gue lebih erat. Gue menepis tangannya yang mulai menggerayangi wajah gue, bisa-bisa gue gatal-gatal kalo dia terus seperti ini.

"Oh, ya?" gue mencoba menahan nada kesal. "Jadi mereka nggak bisa datang? Dan kamu datang kesini untuk... apa?" Gue menambahkan dengan nada yang sengaja dingin.

Kinara tersenyum ceria, seolah berita buruk yang dia bawa itu tidak berarti apa-apa baginya. "Iya, mereka ada urusan mendadak. Tapi, jangan khawatir, kita tetap harus siap-siap. Lagipula acara ini kan penting."

"Ram, hari ini kita—sorry, gue gak tau kalo lo... lagi kedatangan tamu." Akhinyaaa! Gue bernapas lega ketika melihat Bastian masuk ke dalam ruangan gue, dia penyelamat gue.

"Hai calon kakak ipar," Kinara menyapa Bastian dengan senyumnya, membuat gue rasanya ingin muntah.

Bastian membalas senyumnya dengan sandiwara yang profesional, "eh hai, Ki. Aduh, maaf banget nih gue ganggu kalian." Ucapnya, "Ram, gue perlu briefing tentang hasil inpeksi terakhir dari lapangan. Kita harus beresin ini sebelum jadwal meeting sama investor." Jelas Bastian sambil menyerahkan dokumen kepada gue.

Gue menatap Bastian dengan rasa syukur dan kelegaan. Ini adalah alasan sempurna untuk menjauh dari Kinara. "Oke, Bas." Jawab gue, berusaha untuk tidak terlihat terlalu bersemangat.

Bastian mengangguk, lalu dengan sigap mulai menyusun dokumen-dokumen tersebut di meja gue. "Gue tunggu di ruangan gue. Jangan lupa briefing tentang lapangan, itu krusial." Katanya sebelum melangkah keluar.

"Ini tangannya boleh dilepasin dulu?" tanya gue kepada Kinara, membuat Kinara melepaskan lingkaran tangannya di leher gue dengan perlahan.

Dia terlihat melayangkan tatapan tak terima, gue dengan penuh senyum palsu pamit untuk pergi ke ruangan Bastian.

***

Entah kenapa saat ini gue memutuskan untuk menonton film Titanic sebelum makan malam tiba—ini sesuatu yang tidak bisa dihindari lagi karena Bastian turut hadir malam ini, dan sesuai rencana bokap kami akan dinner di restoran milik kolega Papa. Kesedihan mulai menyusut dalam diri gue, mengingat perdebatan yang pernah terjadi dengan Ayleen ketika dia sedang menonton film ini. Setiap adegan dalam film ini terasa seperti cermin yang memantulkan kenangan-kenangan itu—perdebatan kami serta bagaimana kami masing-masing merespons emosi yang begitu mendalam.

Butterfly EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang