CHAPTER XI-Tangled Bonds

1.4K 71 2
                                    

CHAPTER XI—Tangled Bonds

Mas Rian baru saja pergi beberapa menit yang lalu, meninggalkan kami dalam situasi yang membingungkan. Aku masih duduk di sofa, melihat Mas Rama yang mulai terbangun dengan lemas. Ekspresinya penuh kegusaran, tangannya mengusap kasar wajahnya dengan gelisah. Pertanyaan itu muncul di pikiranku; Mengapa di antara begitu banyak perempuan, kenapa harus kekasih sahabatnya sendiri? Tapi lebih dari itu, aku merasa terjebak di antara mereka. Di satu sisi, ada loyalitas pada sahabat dan ada pertemanan yang harus dijaga, tapi di sisi lain, ada rasa kebingungan dan tidak enak melihat teman lainnya menderita.

"Maaf," bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar olehku.

Aku mengangguk pelan, lalu mengambil segelas air untuknya. Terlihat dari matanya yang sayu, sepertinya dia mabuk cukup parah. Aku mencoba menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Aku merasa, ini bukanlah saat yang tepat atau urusanku untuk menyelidiki lebih daalam

Dengan langkah hati-hati, aku mendekati Mbak Hera yang masih tertidur di sofa dan menepuk-nepuk pipinya agar terbangun. "Mbak, ayo kita pindah ke kamar." Ujarku.

Mbak Hera menggeliat, matanya yang merah sedikit terbuka. Aroma alkohol mulai menguar membuatku sedikit mual. Aku membantunya berdiri, dengan hati-hati memapahnya menuju kamarku. Untungnya Sara tidak memutuskan untuk menginap, sehingga kasurku cukup luas untuk kami berdua.

Setelah memindahkan Mbak Hera aku pergi kembali ke ruang tengah, kulihat Mas Rama masih memejamkan mata, bersandar pada punggung sofa dengan tubuh yang tampak begitu lelah. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya

"Mas, di sini ada kamar kosong, tapi belum pernah diberesin lagi, jadi saya gak yakin kalau Mas Rama bakal nyaman." Kataku, menyampaikan pesan dengan halus.

Dia membuka matanya, seolah mencari kesadaran, "saya gak inget kunci rumahnya dimana," ucapnya dengan suara yang serak.

"Emangnya gak ada kunci cadangan?" tanyaku.

Dia menggeleng pelan sebagai jawaban. Akhirnya mau tidak mau, aku membiarkan dia menggunakan sofa untuk malam ini.

Aku memberikan sebuah es batu yang kubaluti dengan handuk kecil untuk ia gunakan sebagai kompresan pada lebam di wajahnya. Ia menerimanya dengan pelan dan langsung digunakan ke wajahnya.

"Makasih, Ayleen." Ujarnya.

Aku mengangguk pelan, duduk di sebelahnya dan menatapnya yang terlihat meringis berkali-kali. Terdapat lebam dan luka robekan di pipinya, aku ikut meringis. Aneh rasanya, Mas Rian memukuli Mas Rama sampai babak belur begini, tapi dia juga yang mengantarnya sampai sini. Meskipun marah, Mas Rian masih peduli, lucu sekali.

"Kamu... kenapa gak nanya apa-apa?" tanyanya kepadaku dengan tatapan kebingungan.

"Emangnya Mas Rama mau saya tanya apa?" balasku, mencoba menahan diri untuk tidak menyelami terlalu jauh.

Mas Rama menyimpan kompresannya ke atas meja dan menoleh ke arahku, "Ayleen, kamu memang terbiasa menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi?"

"Untuk persoalan ini, saya rasa bukan ranah saya untuk bertanya, Mas." Jawabku, "itu urusan kalian." Kataku, mencoba membatasi keterlibatan dalam urusan yang rumit.

Dia terdiam sebentar sebelum kembali membuka suaranya, "kalau saya bilang yang dikatakan Rian tadi salah, kamu akan percaya?" tanyanya membuatku terpaku, dengan ekspresi keheranan yang terpantul dari wajahku.

"Tergantung," jawabku sengaja menggantung ucapanku, dia tampaknya tidak niat menyela dan menungguku kembali berbicara.

"Tergantung Mas Rama bisa membuktikan itu atau enggak." Lanjutku.

Butterfly EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang