CHAPTER XXI—Home in Embrace
Aku merasa seperti dunia ini sedang berputar dengan kecepatan yang tidak bisa kuduga. Setiap detik seperti sebuah tantangan untuk menjaga keseimbangan. Kemarin malam, aku merasa sangat menyenangkan. Minum bersama Mbak Hera, tertawa dan melakukan sesi tukar cerita yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.
Tapi sekarang, aku terbaring di atas tempat tidurku, kepalaku terasa seperti dipenuhi oleh awan kelabu. Pusing yang tak terkira menyergapku, menggerus setiap keinginan untuk bergerak. Aku bisa merasakan denyut jantungku berdegup kencang, dan itu terasa seperti permainan drum yang tak kunjung usai dalam kepalaku.
Aku meringis, merasakan ngilu pada tulang pipiku, hidungku juga terasa sakit, seluruh badanku terasa pegal bukan main. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian semalam yang membuatku bisa merasakan sakit seperti ini.
"Udah sadar lo?" aku mendengar suara Mbak Hera menyapa telingaku, aku bangun dan meringsutkan badanku untuk bersandar pada punggung kasur.
Mataku membulat melihat keadaan Mbak Hera, aku melihat wajahnya lebam, rambutnya berantakan, bahkan aku bisa melihat bekas darah pada hidungnya. Kenapa dia begitu berantakan? Apa semalam kami berbuat onar?
Mbak Hera meneguk air mineral yang berada di tangannya, matanya menatap nyalang ke arahku yang masih bingung dengan situasinya. Aku menggerakkan kepalaku untuk melihat diriku di pantulan kaca yang berada di sampingku, astaga! Aku juga sama berantakannya.
Aku mencoba mengingat kembali detailnya, tapi semuanya seperti kabur dan penuuh kebingungan. Tapi aku jelas ingat bagaimana kami berdua saling berteriak, menghujani satu sama lain dengan kata-kata, kemudian tanpa ada peringatan situasi berubah menjadi petarungan fisik yang kacau balau.
"Gue udah dicium Mas Rama, sialan! Dan bisa-bisanya lo cium dia duluan," ingatan itu melintas di kepalaku, suaraku yang meneriaki Mbak Hera dan menjambaknya dengan keras.
Aku menoleh ke arah Mbak Hera tanpa sadar, dia masih memasang wajah garangnya membuatku makin meringis. Sepertinya keputusanku untuk berhenti minum sudah tepat, dalam keadaan mabuk aku selalu meracau tanpa sadar sampai membuat semuanya kacau seperti saat ini. Aku ingat aku berkata bahwa aku membenci Mbak Hera karena dia telah mencium Mas Rama, kata-kata itu keluar tanpa kusadarai, tanpa filter atau pemikiran. Aku tidak bisa menghentikkan diriku, dan sebelum aku menyadarinya, pertarungan fisik pun terjadi.
"Mbak..." rengekku melihat ekspresinya yang tak kunjung berubah.
Dia berkacak pinggang ke arahku, "udah inget lo?" tanyanya, dia kemudian menyentil dahiku membuatku mengaduh kesakitan.
"Untung semalem gue gak minum banyak," lanjutnya, dia kemudian menyodorkan botol air mineral kepadaku.
"Sorry," cicitku.
"Lain kali jangan kaya gini, lo ninggalin Aruna sendirian di rumah," ucap Mbak Hera, Ah, Aruna aku bahkan tidak ingat saat ini aku masih berada di apartemen Mbak Hera. Aku bahkan tidak ingat bagaimana kami bisa pulang dari tempat malam itu.
Aku meraih ponselku untuk memberi kabar Aruna, tapi Mbak Hera lebih dulu menahanku, "udah gue kabarin." Katanya, dia kini menatapku dengan mata curiga.
"Gue bener-bener—"
"Lo udah sejatuh itu ya buat Rama?" potongnya dengan pertanyaan yang membuatku terdiam. Aku memanyunkan bibirku, merasa sebal dengan pertanyaannya yang tidak bisa kujawab.
"Dia emang cowok baik, Wi, tapi buat jatuh cinta sama dia tuh resikonya gede." Mbak Hera mulai membuka wejangan, aku memasang telingaku baik-baik untuk mendengarkan kalimat apa yang akan dikatakan oleh Mbak Hera. Aku juga ingin tahu, apa resiko besar yang dimaksud oleh Mbak Hera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
RomanceDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...