CHAPTER XXV-Missed Opportunity

1.3K 55 0
                                        

CHAPTER XXV—Missed Opportunity

"Sialan lo! Bisa-bisanya ke Bandung gak ngasih tau gue,"gerutuan Sara membuat mataku berputar secara otomatis. Wajahnnya muncul di layar laptop, ekspresi kesalnya terlihat jelas meski sedikit terdistorsi oleh kualitas video call yang kurang sempurna. Cahaya lampu kun\ ing dari kamarnya yang remang-remang memantulkan bayangan di dinding belakangnya, menambahkan kesan dramatis pada keluhannya.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, "Tenang, Sar. Kali ini beda, soalnya Rama yang ngajak dadakan." Jawabku sambil menyelipkan rambut ke telinga. Mas Rama—eh Rama, aku masih belum terbiasa memanggilnya begitu. Sambil menahan senyum, aku menyadari ini pertama kalinya aku menyebutnya tanpa embel-embel 'Mas'. Aku merasakans sedikit getaran di perutku saat menyebut namanya.

Sara mengerutkan keningnya, tangannya sibuk mengusap-usap rambutnya yang ikal, yang tampak sedikit kusut. Di belakangnya, poster-poster dari grup EXO menempel di dinding kamarnya, "kapan lo ke Bandung lagi?"

"Bulan depan gue ke Bandung lagi buat jemput Aruna," ucapku memberi tahu. "Bocah satu itu ada aja caranya biar gak diem di rumah," ceritaku.

Aruna pergi melakukan kegiatan selama waktu liburnya, aku tidak tahu jelas kegiatannya seperti apa—tapi yang pasti, selama liburan dia tidak akan berada di rumah. Sedikitnya aku bisa tenang karena dia tidak kabur ke tempat yang lain-lain.

Sara menatapku dengan tatapan menyelidik dari balik layarnya, seolah mencoba membaca pikiranku melalui piksel-piksel di layar. "Jangan-jangan itu ide lo ya, biar bisa berdua-duaan sama Mas Rama lo itu di rumah kan."

"Enak aja lo," tepisku.

Percakapan kami terhenti sejenak, diiringi suara notifikasi yang berbunyi dari ponselku. Aku melirik layar benda pipih itu, melihat notifikasi dari aplikasi pesan antar yang menunjukkan pesananku sebentar lagi akan sampai. Perutku yang kosong meronta minta diisi membuatku semakin tidak sabar.

Aku kembali menatap layar laptop, "eh, Reno jadi pergi bulan ini ke luar kota?" tanyaku, mengingat waktu itu Sara pernah bercerita kepadaku kalau Reno akan membuka cabang studio fotonya di beberapa luar kota. Suaraku terdengar sedikit menggema di ruangan kosong ini, hanya ditemani suara kipas angin yang berputar pelan.

Sara menampilkan wajah cemberutnya, dia paling tidak bisa kalau sudah menjalani hubungan LDR. Dulu, waktu awal keluar sekolah, Reno pernah tinggal di luar kota karena mengikuti Ayahnya. Mereka bahkan sempat putus karena Sara tidak bisa menjalankan hubungan jarak jauh. Aku ingat bagaimana dia sering menangis, bercerita betapa sulitnya menjalani hubungan seperti itu. Jadi, aku bisa memahami rasa khawatirnya saat ini.

"Jadi kayaknya, dia akhir-akhir ini juga lumayan sibuk," jawabnya, aku melihat dia menopang dagunya, "jadi, he's the one?" tanyanya, topiknya yang tiba-tiba beralih membuatku yakin Sara sedang tidak ingin membahas Reno saat ini.

Aku melemparkan pandanganku ke arah lain, mencoba mencerna apa yang baru saja Sara tanyakan, "masih terlalu jauh gak sih, Sar?" jawabku, mencoba menghindari pertanyaan langsung.

"Tapi, so far lo happy kan sama dia?" desak Sara, matanya menyipit seolah menantangku untuk berkata jujur.

Aku berdecak, "bisa banget lo ngalihin pembicaraan, ini kita tadi lagi bahas Reno kan?" tanyaku, mencoba mengembalikan topik sebelumnya. Suaraku berusaha tetap tenang meski hatiku berdebar. Di sudut layar, aku bisa melihat bayanganku sendiri, terlihat sedikit lelah tapi tetap bersemangat.

Sara memutar bola matanya, "lo kayaknya udah eneg juga gak sih dengerin gue cerita?"tanyanya, "Sekarang gue mau denger cerita lo." Lanjutnya, menatapku dengan tatapan penuh harap.

Butterfly EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang