CHAPTER IV-Silent Whispers of Past Echoes

1.7K 87 0
                                    

CHAPTER IV—Silent Whispers of Past Echoes

Aku memutar kunci untuk membuka pintu rumah yang sudah lama tak aku kunjungi. Rumah minimalis dengan cat berwarna putih, di sekelilingnya terdapat pepohonan hijau yang tampak terawat dengan gazebo yang berada di tengahnya. Meskipun rumah ini dibiarkan tanpa penghuni selama beberapa tahun, tapi rumahnya masih terawat bersih karena sesekali masih dibersihkan oleh tetangga yang pernah bekerja di rumah kami. Mama sengaja menitipkan rumah itu kepada orang yang sangat ia percaya dan buktinya rumah kami masih terlihat hangat dan bersih.

Ketika aku melangkahkan kaki ku untuk masuk, aku bisa merasakan bau rumah yang sudah tak ku cium selama beberapa tahun belakangan ini. Bau yang kurindukan yang biasanya bisa ku hirup setiap hari. Rumah berisik yang biasa rusuh karena aku dan adikku berebut remote televisi, suara genjrengan gitar yang Papa mainkan setiap sore dan suara Mama yang berteriak dari dapur meminta untuk berkumpul di ruang makan. Sekarang terasa sedikit kosong, melihat bagaimana dinding yang tadinya dipenuhi dengan foto-foto keluarga, piagam-piagam aku dan Kakakku, dan beberapa furniture lainnya. Sekarang tidak ada sisa selain dinding putih yang luas tanpa ada apapun.

Aku bisa merasakan sepinya rumah ini, untuk ditinggali berdua apa tidak terlalu sunyi? Di rumah terdapat 3 kamar yang kosong. Kalau aku dan Aruna tinggal di sini dan mengisi dua kamar, itu artinya satu kamar lagi tidak akan ada penghuninya.

Aku jadi memikirkan opsi menguntungkan. Apa aku sewakan saja kamarnya? Sepertinya itu bukan ide yang baik, aku akan selalu was-was kalau ada orang asing di rumah.

"Teh Tiwi," panggilan dari arah pintu membuatku menoleh. Bu Lila datang dengan membawa sesuatu di tangannya.

Bu Lila sudah memanggilku begitu dari lama, mungkin karena dia tau aku berasal dari Bandung. Panggilan Teh Tiwi sudah melekat dari jaman aku masih duduk di bangku SMA.

Bu Lila adalah tukang gosok yang suka dipekerjakan oleh Mama, orangnya sedikit berisi dan memiliki wajah yang ramah. Rumahnya tak jauh dari rumah kami, mungkin dengan berjalan kaki sepuluh menit pun bisa sampai.

"Aduh Bu, gak usah repot-repot." Ucapku saat Bu Lila menyerahkan kotak makan bertingkat kepadaku. Aduh, mana aku tidak bawa apa-apa.

Bu Lila menggelengkan kepalanya dan menggenggam tanganku dengan hangat, "saya dapat kabar dari Bu Hani, Teh Tiwi mau kesini. Makanya saya siapin makanan." Jelasnya, "gak papa, saya gak merasa direpotkan." Lanjutnya. Hani adalah nama Mamaku, Bu Lila biasa memanggilnya seperti itu.

Aku menerimanya dengan tidak enak hati, lalu mengucapkan terima kasih. Aku niatnya hanya mau melihat-lihat rumah dulu sebelum nanti pindahan. Aku kira Mama tidak memberi tahu Bu Lila terlebih dahulu, tahu begitu harusnya aku membeli sesuatu untuk diberikan kepada Bu Lila.

"Bu, saya bawa pulang dulu kunci rumah ya. Sabtu depan saya balik lagi ke sini." Ucapku.

***

Aku sudah memberi kabar kepada orang tuaku kalau aku sudah mengunjungi rumah, mereka meminta aku cepat pindah kesana karena Aruna minggu depan akan berangkat ke Jakarta. Untuk menolak pun rasanya aku sudah tidak sanggup, malas sekali adu mulut dengan Papa yang tidak pernah mau kalah. Aku memilih mengiyakan ucapannya saja daripada nanti aku durhaka.

Omong-omong tentang Aruna, aku tentu aja akan menjadi walinya selama dia tinggal di Jakarta. Memikirkannya saja sudah membuatku pusing, aku harus mengurus kepindahan sekolahnya, belum lagi memikirkan dia akan makan apa, sarapan apa, nanti sekolahnya bagaimana. Semoga saja, dia bukan tipe anak yang susah diatur.

Baru aja memikirkan Aruna, Teh Fira a.k.a Ibunya Aruna menelponku. Aku yang sedang sibuk memotong kuku itu meraih benda pipih itu dan menggeser layar untuk mengangkat telepon.

Butterfly EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang