CHAPTER XV—Crossing Boundaries: Seeking More Than Friendship
Hari ini aku pulang lebih awal, pekerjaanku sudah beres karena lembur kemarin. Aku memutuskan untuk pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Membeli banyak keperluan untukku dan Aruna di rumah. Mulai dari bahan makanan, perlengkapan untuk mandi yang sudah mulai habis dan camilan-camilan yang biasa ku makan dengan Aruna.
Aku sibuk menelusuri deretan rak-rak yang penuh warna, aroma segar dari bagian buah dan sayuaran, sambil melihat ponsel aku mencari barang-barang yang masuk dalam daftar belanjaanku. Suasana di dalam toko terasa ramai dengan kerumunan pembeli yang berusaha menyelesaikan belanjaan mereka. Tanpa sengaja, mataku bertemu dengan sosok yang akrab di antara deretan produk-produk yang menggoda.
Di sana, berdiri Mas Rama mendorong trolli belanjaannya. Tatapan kami bertemu, pria itu berjalan ke arahku. Sambil tersenyum aku hendak membuka mulut, belum sempat bersuara aku melihat Mas Rama berjalan melewatiku tanpa menyapaku. HEI! Dia tidak menyapaku? Batinku bertanya kebingungan akan sikapnya tadi. Rasa kecewa melandaku, aku merenung sejenak, mencari alasan dibalik tindakannya yang seolah-olah mengabaikanku.
Dia memakai kacamatanya, tidak mungkin dia tidak melihatku. Kenapa dia mengabaikanku seolah kita tidak saling mengenal?Aku menggelengkan kepalaku, mencoba mengusir rasa kesal yang ada di hatiku. Lebih baik aku segera pergi ke kasir untuk membayar belanjaanku, pulang ke rumah lebih awal lebih penting daripada harus memikirkan Mas Rama, sembari mendorong trolli dengan perlahan, aku mengecek kembali daftar belanjaanku di ponsel, memastikan kalau tidak ada yang terlewat.
Aku keluar setelah antrian yang cukup panjang, dua tanganku dipenuhi dengan dua kantong belanjaan. Dengan kesulitann aku mencoba merogoh ponselku yang berada di dalam tas untu memesan taxi online.
"Butuh bantuan?" suara itu menghentikkan pergerakanku, aku melihat Mas Rama berdiri di belakangku dan bersandar di tembok.
Aku tidak menjawabnya, aku akan membalas perbuatannya tadi di dalam. Aku akan mengabaikannya juga.
"Saya bicara sama kamu, Ayleen." Ujarnya sambil menghampiriku.
"Tiwi saja, Mas." Ucapku, aku tidak bisa mengabaikannya kalau dia berdiri di sampingku seperti itu.
Aku selalu merasa aneh kala mendengar nama depanku disebut olehnya. Aneh, tapi aku menyukainya. Meskipun begitu, aku hanya ingin orang-orang memanggilku seperti biasa, panggilannya yang berbeda dengan orang lain membuatku jadi merasa.. spesial? Aneh bukan? Untuk orang yang baru saja mengenalku, mereka sering memanggilku Ailen, bukan Ayleen. Bahkan tak jarang orang-orang memanggilku Alien, semenjak saat itu aku memutuskan untuk dipanggil Tiwi saja, itu lebih memudahkan mereka memanggil namaku. Hanya ada dua orang yang tselalu memanggil nama depanku dengan tepat, yaitu Daniel dan Mas Rama.
"Ayleen, e nya dua," ujar Mas Rama, "Ayleen ya, bukan Alien." Lanjutnya membuatku bingung. Apa maksudnya itu?
"Tetangga harus saling tolong menolong," setelah mengucapkan hal itu, dia membawa dua kantong belanjaanku dan berjalan meninggalkanku menuju parkiran. Jujur saja, sebagian dari diriku senang karena dia mengambil alih barang belanjaanku, ya.. setidaknya aku memiliki tumpangan untuk pulang, dengan begitu aku tidak perlu membayaran ongkos taksi bukan?
***
"Ini mau langsung pulang aja?" tanya Mas Rama di balik kemudinya, aku bersyukur ada Mas Rama meskipun masih sedikit kesal karena pria itu tadi mengabaikanku.
"Iya." Jawabku singkat sambil menatap ke arah luar jendela.
"Ini perasaan saya atau kamu lagi kesal sama saya?" tanyanya. Aku berdehem pelan membenarkan posisi dudukku yang sedikit tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
Roman d'amourDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...