CHAPTER XXX-Cloudy Morning: Feeling Lost

1K 52 0
                                    

CHAPTER XXX—Cloudy Morning: Feeling Lost

Alih-alih meminta penjelasan, aku malah menerima ciumannya. Alih-alih marah kepadanya, aku malah melingkarkan tanganku di lehernya, alih-alih mengusirnya aku malah membiarkannya kembali seenaknya kepadaku. Ada apa denganku belakangan ini? Kenapa perasaanku bisa luluh begitu saja kepada orang seperti Rama? Kenapa perasaanku tidak tumbuh secepat ini kepada Ares yang tidak memiliki banyak rahasia di hidupnya?

Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menghapus bayangan ciumanku dengannya semalam. Ciuman terakhir yang tidak akan pernah kami temukan lagi, aku bisa merasakan kesedihan dan perpisahan yang kuat dari air matanya semalam. Aku ingin menahannya dan bertanya tentang apa yang terjadi, mendengarkan penjelasan darinya yang mungkin tidak masuk akal—tapi itu mungkin saja bisa menjadi alasan hubungan kami bisa kembali seperti sebelumnya. Tapi, yang kulakukan hanya menatap punggungnya yang menjauh dengan jalannya yang terlihat sempoyongan. Dia melakukannya secara tidak sadar, alkohol di dalam tubuhnya bisa saja membuatnya lupa akan kejadian semalam.

Ya, aku tidak perlu memikirkan ini. Aku hanya akan menjalani hidupku seperti biasa tanpa Rama di dalamnya, seperti sebelumnya. Semuanya akan baik-baik saja.

"Sorry, Wi." Mbak Hera datang kepadaku dengan cangkir di tangannya, aroma kopi mulai menguar apalagi ketika benda itu sudah ada di depanku. Kafe tempat kami duduk ini penuh dengan cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela besar, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu.

Aku memutuskan untuk menemui Mbak Hera di hari minggu yang cerah ini, aku memikirkan kalau aku sendirian di rumah aku hanya akan terus membayangkan Rama dan berlarut-larut pada apa yang kami alami semalam. Karena Sara sedang pergi mengantarkan keponakannya untuk piknik, jadi aku menghubungi Mbak Hera untuk menemaniku.

"Gue sengaja bawa lo kesana," ucapnya, aku mengerutkan keningku. Maksudnya ke pembukaan kafe yang kami datangi kemarin?

"Kafe itu milik sepupu Rama, gue emang sengaja ajak lo kesana karena gue tahu kalo Rama pasti datang sama Kinara." Jelasnya, dia duduk di kursinya dan memutar tubuhnya ke arahku. Aku bisa melihat kecemasan di matanya yang biasanya selalu ceria.

"Kinara?" tanyaku, mencoba untuk memahami situasinya lebih lanjut. "Yang kemarin sama Mas Rama itu namanya Kinara?"

Mbak Hera mengangguk sebagai jawaban, "Kinara itu kembaran dari Ranaya," jawab Mbak Hera dengan nada serius. "Bokap-nyokapnya Rama memutuskan untuk memperbaiki hubungannya dengan kedua orang tua mereka dengan cara menjodohkan anaknya kembali, yaitu Kinara." Aku masih menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut Mbak Hera tanpa memotongnya.

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba mencerna informasi yang baru saja kuterima. "Jadi maksudnya Mas Rama dijodohin sama Kinara?"

"Yang gue tahu saat ini, mereka mau meresmikan tunangan mereka."

Mendengar kalimat terakhir, aku mulai merasakan rasa panas di mataku, dadaku seperti ditusuk oleh sebilah pisau yang membuat dadaku terasa berdarah. Astaga, kenapa aku tidak diberikan jeda untuk siap-siap terlebih dahulu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kafe, mencoba mencari distraksi dari rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. Matahari yang masuk melalui jendela terasa seperti menyindir, seolah-olah kehidupan yang cerah di luar sana kontras dengan kepedihan yang ku rasakan saat ini.

"Mbak—" suaraku bergetar, mencoba untuk tetap tenang.

"I care about you, that's why gue lakuin ini, Wi, gue minta maaf karena gue lagi-lagi ikut campur," potongnya. Tatapannya penuh keprihatinan, dan aku tahu dia bermaksud baik, tapi itu tidak mengurangi rasa sakit yang kurasakan.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku. Aroma kopi dan suara pelanggan lain yang bercakap-cakap samar mengalihkan perhatianku sesaat. "Lo tahu ini dari kapan, Mbak?"

Butterfly EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang