CHAPTER XXXVII—Healing Words
Aku terbangun dari rasa sakit di kepalaku, denyutan terasa di setiap sudut, mengingatkan pada malam panjang yang baru saja kulalui. Mataku terasa berat, kelopaknya bengkak akibat air mata yang tak henti-hentinya mengalir semalaman. Pandanganku masih sedikit buram, tetapi aku bisa menangkap aroma masakan yang samar-samar tercium melalui hidungku yang tersumbat.
Aku menatap selimut yang tidak tahu sejak kapan ada di sini, mungkin Aruna semalam memberiku selimut tanpa aku tahu, entahlah. Dengan pelan, aku menghempaskan selimut untuk turun dari tempat tidur, meskipun kakiku masih terasa sedikit lemah, seolah setiap langkah adalah usaha keras.
Aku berniat untuk mencari keberadaan Aruna, karena ini adalah jamnya berangkat sekolah, karena aku bangun kesiangan, aku harus bergegas untuk membuatkannya sarapan, tapi belum sempat aku terbangun, suara familiar masuk ke dalam telingaku, "lo harus makan banyak, Wi."
Suara lembut tapi tegas itu membuatku terdiam. Aku melihat sosok wanita yang keluar dari dapur, membawa sepiring makanan yang baru saja dimasak. Masakan sederhana, dengan aroma bawang dan rempah-rempah yang menyebar ke udara, menenangkan seperti pelukan hangat. Aku terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Dia... Mbak Hera.
Aku membeku, lidahku kelu, mulutku terasa dikunci dan sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Kurang lebih satu bulan, selama ini kami tidak bertukar sapa, tidak bercerita bahkan tidak makan bersama, tapi kini dia berada di depanku, membawa makanan dengan santai seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kenapa dia ada di sini? Aku masih mengumpulkan nyawaku, bingung tentang kehadirannya yang tiba-tiba dan alasan di baliknya.
"Aruna udah berangkat—ah, paketnya udah sampe ya?" tanyanya, dia duduk di sampingku dan mulai membereskan kotak-kotak yang berserakan di atas meja dengan gerakan cepat dan terampil. "Kinara ngasih tahu gue, katanya dia mau ngasih kejutan ke lo." Tambahnya dengan nada yang terdengar seola dia ingin menjelaskan sesuatu yang rumit.
Aku masih belum membalas ucapannya, masih bingung dan terkejut. "Gue udah izin sama Mas Rian sama HRD," lanjutnya dengan nada tenang, "gue tahu lo butuh waktu, jadi gue minta izin."
Mbak Hera menatapku dengan tatapan bingung dan sedikit kecewa. "Wi, lama gak ngobrol sama gue ternyata bikin lo gak bisa ngomong?" katanya, "lo harusnya tahu, gue di sini bukan cuma buat masalah ini. Gue juga peduli sama lo."
Aku menggeleng pelan, mencoba memahami situasi yang membingungkan ini. "Aneh aja," jawabku singkat, mengangkat bahuku sebagai tanda ketidakpastian. "Lo gak jujur dari awal sama gue."
Mbak Hera menghela napas berat, "terlalu rumit," katanya dengan nada yang penuh penyesalan. "Gue nggak mau terlibat lebih dalam, tapi gue juga nggak bisa lihat lo sendirian di sini." Dia mengalihkan pandangannya, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi ini.
Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk, ketidakjujurannya dan alasan yang tidak sepenuhnya jelas membuatku merasa terjepit, aku jadi sulit untuk mempercayainya—apapun yang akan dia katakan nantinya, aku jadi ragu apakah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tapi, melihatnya di sini, bukankah itu cukup jelas membuktikan bahwa dia peduli kepadaku?
"Kinara gak akan berhenti, Wi." Ucapnya, nada suaranya terdengar serius dan penuh penekanan. "Rama dan Kinara tipe orang yang keras kepala, selama Rama gak berhenti, Kinara juga gak akan berhenti." Tambahnya.
Kalimat itu menggantung di udara, mengisi ruangan dengan beban emosional yang tak bisa diabaikan. Aku mencoba mencerna kata-katanya, merenungkan arti di baliknya. Mbak Hera tampak memperhatikan ekspresiku, seolah memastikan bahwa aku benar-benar mendengar dan memahami apa yang dia katakan.
Aku mengangguk, "thanks for your information," ujarku dengan nada dingin. "Terlepas lo sepupu Kinara atau bukan, ini jelas bukan urusan lo."
"Wi? Seriously?" Mbak Hera tampak terkejut, suaranya penuh keheranan dan sedikit kecewa.
![](https://img.wattpad.com/cover/113935620-288-k314344.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
RomanceDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...