CHAPTER XXII—Rama's Tender SideAku meneguk segelas air putih yang diberikan Mas Rama, pria itu terlihat lebih baik dari yang kukira. Pandangannya tak lepas sedikitpun dariku, dia menatapku dengan senyum lembut di bibirnya. Aku mulai gugup dan salah tingkah sampai aku tersedak dan terbatuk berkali-kali.
Dia mengusap punggungku dengan lembut, menepuk tengkukku dengan perlahan mencoba menenangkan diriku yang sudah batuk brutal, "pelan-pelan minumnya, Ayleen." katanya setelah batukku berhenti.
Aku mendelik ke arahnya, aku begini gara-gara siapa?
Aku mengusap bibirku yang terasa basah, menangkup gelas yang berada di tanganku dan menatapnya yang kini membelai rambutku dengan lembut. Kenapa dia begini sih? Kenapa dia bersikap lembut dan tersenyum seperti ini seolah dia baik-baik saja, padahal aku tahu, dia pasti lelah dengan segala beban yang ia pikul.
"Hei, kenapa?" tanyanya, matanya terlihat panik dan khawatir saat dia menyeka air mataku yang mulai jatuh dari ujung mataku.
Aku menggelengkan kepalaku, tapi ketika dia menangkup wajahku dan mengusap air mataku dengan kedua ibu jarinya, tangisku malah semakin pecah. Bagaimana bisa dia terlihat tenang dan baik-baik saja ketika setumpuk rasa bersalah menjadi bebannya selama ini? bagaimana dia bisa hidup terlihat baik padahal aku yakin, di balik senyumnya dia merasakan derita yang mendalam.
Mas Rama menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat, pria menarikku ke dalam pelukannya, aku juga bisa merasakan bibirnya mencium puncak kepalaku, mencoba menenangkanku. Aku tidak akan bertanya kepadanya terkait hal yang disampaikan oleh Mbak Hera, aku hanya akan menunggu dia bercerita. Untuk saat ini, yang ingin ku lakukan hanyalah berada di sampingnya.
"Kamu segitu sedihnya karena aku pergi kemarin, hm?" aku merasakan gerakan bibirnya di atas kepalaku, dan suaranya terdengar begitu hangat.
Aku meringsek lebih masuk ke dalam pelukannya, "kedepannya jangan bikin aku khawatir, kasih aku kabar kalo kamu kenapa-napa," ucapku, aku mendongakkan kepalaku tanpa melepas pelukannya, menatap mata cokelatnya yang kini juga sudah menatapku dengan lembut, "karena sebuah rumah gak suka nunggu penghuninya gak pulang tanpa kabar," lanjutku.
Mas Rama menyipitkan matanya, "coba kamu pikir lagi, karena siapa aku pergi?" tanyanya membuat keningku berkerut, tangan Mas Rama mengusap keningku membuat kerutanku memudar, "karena kamu nolak untuk berangkat sama aku."
Dia tidak mau bercerita kepadaku, dia belum mau terbuka. Tapi, tidak apa-apa, karena dari awal kami ingin pelan-pelan. Aku tidak akan memaksanya, aku akan mendengarkan ceritanya kalau dia sudah siap.
Aku mendengus kesal, "ya udah, nanti kita berangkat terus."
Tubuh Mas Rama bergetar, aku bisa merasakan getaran itu meski hanya sejenak ketika dia tertawa. Pelukan hangatnya, yang begitu kuat dan kokoh, tiba-tiba melonggar saat dia melepaskannya. Sebelumnya, aku hanya melihatnya serius atau penuh perhatian, tapi sekarang tatapan matanya bersinar ceria, memancarkan kegembiraan yang begitu jelas.
"Mau naik bus, naik motor, atau naik mobil aku jabanin semuanya." Katanya.
Aku tertawa kecil. Sebenarnya, semuanya tergantung pada niat dan suasana hatiku saat itu. Kadang-kadang aku memilih naik bus—lebih simpel dan murah. Aku bisa duduk di dekat jendela, menikmati angin yang menerobos lewat celah kecil di kaca yang sudah aus, sambil mengamati kota yang hiruk-pikuk dengan segala kesibukannya. Ada sesuatu yang menenangkan dalam hiruk-pikuk itu, melihat orang-orang berlalu lalang dengan tujuan masing-masing, seolah mereka semua punya cerita yang tak pernah selesai diceritakan.
Di lain waktu, aku naik motor. Sensasi mengendarainya membuatku merasa lebih bebas, lebih lepas dari keteraturan yang seringkali mencekikku. Angin yang membelah wajahku, sedikit rasa adrenalin saat menyalip kendaraan lain, dan kebebasan menentukan jalurku sendiri selalu jadi alasan kuat. Motor adalah sahabat terbaikku saat ingin melawan kemacetan yang seringkali seperti lautan kendaraan yang tak berujung. Di atas motor, aku bisa jadi penguasa jalanku sendiri, meski hanya sesaat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
RomanceDi usia yang telah memasuki 25 tahun, aku merasa seperti seorang penonton di pinggir lapangan, tersingkir dari hiruk-pikuk serunya kisah cinta masa remaja yang dulu begitu membara. Mati rasa kini perlahan menggerogoti diriku, mengambil alih hari-har...