I

169 6 1
                                    

Terlihat jelas bingkai foto yang berukuran besar, terpajang di ruangan tamu. Dengan tersenyum bahagia yang ia tunjukkan di gambar itu. Foto wisuda anak bungsu dari habib Munzir dan ustadzah eila.

Mereka mempunyai anak tiga, dua laki laki dan satu perempuan, ke-tiga anaknya itu semuanya mengajar di pesantren yang didirikan oleh habib Munzir.

"Umi umi, Adek mau jadi dokter" seru Tira yang heboh sendiri

"Iya..." Bals eila lembut

"Abang mau jadi apa?" Tanya habib Munzir kepada kedua anak laki-laki nya itu yang tengah duduk main bersama

"Gak mau papa, cuman mau membahagiakan umi sama Abi di akhirat nanti" bals Arsyad dengan dewasa

"Kalau itu kan pasti, adek juga mau" sahut Tira

"Abang Irshad?" Habib Munzir kembali menatap Irshad yang terdiam tanpa menjawab

"Lihat nanti aja" singkat Irshad

"Gak punya cita-cita" cibir Tira

"Biarin" ketus Irshad

"Abang gak boleh gitu sama adek" tegur Arsyad melihat sikap Irsyad kepada Tira

Irshad hanya terdiam saat Arsyad menasehati nya tapi tatapan acuh.

"Denger apa kata Abang?" Sahut habib Munzir melihat respon Irshad saat di nasehati oleh Arsyad

"Iya" bals Irshad

"Dengerin umi, kalian. Itu saudara, gak baik berantem. Satu sama lain harus menghargai, turunin ego nya masing-masing untuk saudaranya. Saudara itu seperti jari, ketika salah satu nya sakit, yang lainnya akan merasa sakit nya juga. Arsyad sama Irshad sedih gak? Kalau adek Arsyad sama Irshad sakit" tutur eila lembut saat menasehati ketiga anaknya

"Sedih umi" bals Arsyad dan Irshad bersamaan

"Adek, sedih gak? Kalau Abang Arsyad sama Abang Irshad sakit" eila kembali menatap anak bungsu nya

"Sedih"

"Sama seperti jari, satu jari kita sakit, yang lain akan ngerasa sakit juga. Jadiin... Kita harus saling merangkul, bukan kah kebersamaan saudaranya akan lebih indah kalau kita saling menurunkan ego nya masing-masing"

Mendengar kalimat eila, Tira langsung memeluk ke-dua Abang nya itu dengan rasa sayang. Dengan tersenyum, Arsyad dan Irshad membalas pelukan sang adik.

Mengingat hal itu, eila kembali meneteskan air mata nya. Rasanya dunia ini berputar begitu cepat, anak anaknya kini sudah tubuh dewasa, dan sebentar lagi mempunyai keluarga nya masing-masing.

Eila kembali menatap bingkai foto wisuda anak keduanya, rasa bangga melihat mereka bisa sukses. Eila juga menatap foto wisuda anak sulung nya itu, dengan tersenyum. Satu persatu eila menatap foto yang ada diruangan itu dengan tersenyum senang, foto itu terpajang rapi diruangan tamu, terlihat sederhana tapi menarik untuk dipandang.

"Assalamualaikum..." Ucap Tira berjalan masuk kedalam rumahnya

"Waalaikumsalam..." Bals eila saat mendengar suara dari arah pintu

"Umi nangis?" Tanya Tira saat dirinya setelah menyelami eila selepas pulang mengajar

"Engga" jawab eila, sambil menyambut uluran tangan sang anak

"Bohong, itu air matanya! Umi kenapa?" Tanya Tira yang tadi tak di beri jawaban oleh eila uminya

"Engga! Apa adek nih, umi gak nangis" elak eila terus menerus

my brother is my husband || end ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang