4

2.7K 234 24
                                    

Angin membelai lembut wajahnya begitu Dirga turun dari mobil yang ia parkir di sisi jalan depan rumah. Langkahnya sedikit cepat saat memasuki halaman rumah dengan kanopi di atasnya itu. Kelabu memang membentang di atas sana. Memasuki awal musim penghujan, suasana mendung di pagi hari menjadi sebuah pemandangan biasa.

Lelaki berkemeja hitam itu mendapati rumah yang ia datangi sepi. Ia menebak ibunya dan Laras sudah pergi meninggalkan rumah. Dilihatnya arloji di pergelangan lengan kirinya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. Padahal ia sudah sesegera mungkin kembali ke rumah, tapi ia terlambat dan kedua wanita yang ia janjikan untuk diantar berbelanja itu sudah pergi lebih dulu.

Dirga menyugar rambut depannya yang sudah memanjang sebelum duduk di kursi besi di teras rumah. Selepas subuh tadi, ia meninggalkan rumah untuk mengunjungi Tsabitha yang meminta diantar ke kantornya untuk bekerja. Dan, demi mengobati kerinduan istrinya itu, Dirga berbohong pada ibunya dengan beralasan pergi untuk bekerja sebentar. Padahal ia masih dalam masa cuti sampai esok hari.

Sementara Laras, perempuan itu tentu saja tak pernah peduli. Meski Tsabitha meminta Dirga pulang tengah malam sekalipun, Dirga tak butuh izin dari Laras untuk pergi segera menemui Tsabitha.

Hujan turun deras seketika tanpa aba-aba. Dirga semakin menyamankan duduknya di kursi, sambil melipat tangan di depan dada, Dirga memejamkan mata, meresapi hawa dingin yang menyapa.

"Dirga!"

Suara itu terdengar bersamaan dengan sebuah becak yang memasuki rumah dengan tergesa. Dirga lantas berdiri dan menghampiri becak berisi dua penumpang perempuan itu yang kini terlindungi dari hujan oleh kanopi.

"Kamu ini kemana saja sih, Nak! Malah santai-santai pula di situ!" Hapsari mengomel seraya menuruni becak dengan susah payah.

Dirga berlari kecil menghampiri, lalu membantu ibunya turun tanpa membantah. Ia menuruni barang belanjaan di becak itu dan membawanya masuk ke dalam menyusul sang ibu.

"Mas, ini istrinya nggak dibantu turun dulu!" Suara si tukang becak yang setengah berteriak membuat langkah Dirga terhenti.

Dirga menoleh. Dilihatnya lelaki tua penarik becak yang tubuhnya setengah kuyup itu sibuk memegangi bagian kemudi becaknya, yang membuatnya tidak memungkinkan untuk membantu Laras turun. Hingga Dirga bertemu tatap dengan Laras yang memberinya senyum tipis.  Wanita berkemeja merah muda itu sedang menuruni pijakan becak yang basah itu dengan hati-hati. Dirga merutuki diri dalam hati sambil meletakkan dua kantong belanja besar di tangannya, sebelum menghampiri Laras untuk membantu.

"Nggak usah, aku bisa," ucap Laras dari sana. Wanita itu kemudian membuka dompetnya dan membayar si tukang becak.

Laras melangkah menghampirinya. Dalam diam, Dirga mengamati penampilan Laras saat ini. Atasan kemeja pendek dengan celana panjang berbahan lembut warna hitam, rambutnya yang terikat satu tampak tidak rapi, dengan beberapa helai rambut dibiarkan terurai.

Cantik. Seperti penilaian Dirga padanya sejak pertama kali bertemu.

Ingatan Dirga jadi mundur ke belakang saat pertama kali membawa Laras ke rumah ini setelah mereka sah menjadi suami istri. Masih terbayang senyum yang selalu Laras berikan untuknya. Serta sikap penuh perhatian dan kelembutan wanita itu. Sebelum semuanya berubah saat Dirga jujur tentang Tsabitha.

Tapi barusan Laras juga tersenyum. Meski tipis sekali. Kenapa Laras jadi banyak tersenyum sejak kemarin? Pikir Dirga dalam hati.

"Mas, kenapa bengong di situ?"

Dirga tersentak kecil saat mendengar suara lembut Laras menegurnya. Sepasang mata indah Laras memberinya tatapan penuh tanya. Ia menghela napas berat, sebelum kembali menjinjing kantong belanjaan yang ia letakkan di aspal. Di saat ia seharusnya mencari bagaimana cara memberitahu ibunya perihal perceraiannya dengan Laras, ia malah memikirkan hal remeh seperti ... senyum Laras.

Waktu Yang DinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang