1

4.2K 264 7
                                    

"Semua yang terjadi dalam kehidupan kita adalah rencana Tuhan. Yang perlu kita lakukan sebagai hamba adalah bersyukur meski yang sedang menimpa kita adalah sebuah kesulitan."

Laras tercenung mengingat kalimat sang ayah saat pertama kali ia pulang ke rumah empat tahun lalu. Ia benar-benar sedang terpuruk saat itu. Begitupun keadaan ayahnya yang juga tidak lebih baik darinya. Penyakit komplikasi yang diderita ayah Laras itu membuatnya hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur. 

Sambutan hangat dari lelaki yang pernah mengalami masa kejayaan sebagai pengusaha sukses itu, yang membuat Laras semakin optimis menjalani kehidupannya sebagai sosok Laras yang baru. Sosok Laras yang memiliki keinginan sederhana, yaitu membalas budi baik ayah angkatnya yang dulu memberikan kecukupan materi dan kasih sayang untuknya itu.

Maka saat ayahnya meminta ia menikah, tidak sulit bagi Laras untuk menerima. Entah mengapa, tidak ada bantahan darinya saat itu selain harapan, kalau ia akan menjalani babak baru dalam kehidupannya itu dengan baik. Seolah jadi permintaan terakhir sang ayah yang kemudian meninggalkan dunia untuk selama-lamanya hari ini. Hampir satu tahun dari hari pernikahan Laras dengan pria yang dipilih sang ayah untuknya.

"Ayah perhatikan, wajahmu lebih sendu dibandingkan sebelum menikah. Ada apa, Yas? Apa Dirga berbuat sesuatu yang menyakiti kamu?"

Tidak ada jawaban yang Laras berikan pada sang ayah waktu itu. Selain senyuman yang semampunya ia sunggingkan. Ia tidak mampu berdusta dengan mengatakan ia baik-baik saja. Tetapi, ia juga tidak bisa jujur dan menyakiti ayahnya dengan kenyataan yang ia hadapi.

Laras memejamkan mata. Merasakan air matanya kembali luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak, membayangkan nasehat demi nasehat yang selalu diberikan ayahnya, kalau sebagai manusia kita semestinya senantiasa mengembalikan semua urusan kepada sang pencipta. Dan, menjalani kehidupan dengan selalu bersabar dan bersyukur.

Dadanya terasa sesak mengingat belum banyak yang ia lakukan untuk membalas kebaikan lelaki dermawan yang mengangkatnya menjadi anak sejak dirinya balita itu. Hatinya belum pernah sehancur ini, meski banyak kejadian kurang menyenangkan mewarnai hidupnya. Terbayang semua kenangan bersama sang Ayah semasa hidupnya. Saat keluarga mereka masih utuh dan bahagia.

"Yas!"

Laras menoleh, kemudian melempar senyum tipis pada pria tampan yang baru saja memasuki kamarnya. Namanya Dygta, yang pernah mendiami hati Laras cukup lama, dulu. Teman kecil sekaligus kakak laki-laki yang membersamainya hingga tumbuh dewasa, bahkan selalu ada di masa-masa sulit Laras.

"Yas, aku sama Dygta pamit dulu, ya. Kasihan si kecil cuma sama Mbak di rumah." Kali ini Anye, istri Dygta menghampiri Laras.

Laras mengangguk pelan, tanpa sedikit pun beranjak dari duduknya. Sejak pulang dari pemakaman tadi, Laras memang hanya duduk termenung di atas tempat tidur mendiang sang ayah. 

"Besok kita datang lagi. Sekarang, mending lo istirahat, tidur!" titah Dygta kemudian.

Laras menurut saja, ia menaikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur. Mungkin karena ia juga merasa sudah sangat lelah. Sementara itu, Anye membantu menarik selimut untuk menutupi tubuh Laras yang kini sudah berbaring. Laras mengucapkan terima kasih, sebelum sepasang suami istri itu pergi meninggalkannya seorang diri. 

Suara pintu yang kembali terbuka, membuat Laras tidak jadi memejamkan mata. Dirga datang dengan nampan berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk, beserta segelas air. 

"Ras, kamu belum makan apapun hari ini. Makanlah dulu sebelum tidur," ujar suaminya itu seraya meletakkan nampan itu di di nakas yang berada di sisi kiri ranjang.

Laras menggeleng pelan. "Aku belum lapar."

"Sedikit saja, ya." Dirga merayu. "Saya suapi, mau?" tawarnya.

Laras akhirnya menerima tawaran suaminya dengan anggukan kepala. Ia memang tidak memiliki tenaga lagi saat ini. Ia sadar harus mengisi perutnya meski ia tidak berselera makan sama sekali. Dirga kemudian membantunya duduk, merapikan bantal untuk Laras jadikan sandaran.

"Ibu minta maaf karena belum bisa datang, Ras. Penerbangan dibatalkan karena cuaca buruk. Tadi ibu sebenarnya mau menelpon kamu untuk bicara, tapi saya tolak. Saya bilang kamu sedang istirahat."

Laras tersenyum tipis sekali. "Nanti kalau ibu telepon kamu lagi, kasih tahu aku, ya."

Dirga mengangguk seraya kembali menyuapi Laras.

"Kamu sudah makan?" tanya Laras.

"Sudah. Tsabitha kirimkan makanan banyak sekali." Sepasang mata teduh Dirga menunjuk piring di tangannya.

Sementara itu, Laras secara otomatis berhenti mengunyah. Ditelannya makanan di mulutnya dengan susah payah karena tidak mungkin juga ia muntahkan.

Tsabitha Alia, perempuan ayu yang Dirga cintai setengah mati. Harusnya, Laras sudah terbiasa dengan Dirga yang tak pernah terlepas dari menyebut nama Tsabitha di depan dirinya. Semestinya, perasaan tak nyaman yang kini Laras rasa tidak lagi muncul, kala ia sendiri sedang dirundung duka karena kepergian sang ayah. Tetapi, Tsabitha tetaplah Tsabitha, menjadi nama yang tidak pernah Laras ingin dengar dalam hidupnya.

"Dirga, aku sudah kenyang," ucap Laras. Ia cepat-cepat meraih gelas di atas nakas dan meneguknya hingga tandas.

"Tapi kamu baru makan sedikit."

"Kan, kamu bilang tadi sedikit saja. Lupa?" balas Laras mencoba tersenyum.

Dirga menyerah, ia meletakkan kembali piringnya di atas nampan.

"Terima kasih," ucap Laras. Ia kembali merubah posisi bantal di belakang punggungnya, tidak peduli pada Dirga yang menatapnya dengan raut berbeda.

"Tsabitha bilang, ia turut berduka cita atas kepergian ayah kamu, Ras," ucap Dirga kemudian. Ia merasa perlu menyampaikan rasa belasungkawa dari istrinya itu.

"Ya, terima kasih."

"Dia juga ingin datang kesini tadinya."

"Lalu?"

"Tapi kan, Mama juga mau datang."

Laras mengangguk saja, seraya menarik kembali selimutnya. Dirga tak pernah sungkan membicarakan rumitnya hubungan ia, Tsabitha dan sang Mama di depan Laras. Padahal Laras tak pernah merespon dengan baik, bahkan terkadang sinis. Entah, mungkin karena kadar cinta Dirga untuk Tsabitha yang seluas samudera. Makanya lelaki itu tak pernah berusaha mengerti tentang perasaan Laras.

"Aku tidur dulu." Laras memunggungi Dirga begitu saja. Ia berharap Dirga paham, bukan waktunya menceritakan Tsabitha pada saat ini.

Suara pintu tertutup menandakan Dirga telah meninggalkan kamar itu. Laras mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya menatap nanar langit-langit kamar, sambil menghitung berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk bertahan atas hubungannya bersama Dirga. Menantikan waktu yang tepat, mengatur perpisahan yang sempurna tanpa menyakiti siapapun. Khususnya sang ayah.

Tapi kini, Laras tak memiliki lagi alasan itu. Katakanlah, waktu yang ia nanti telah datang. Ia tidak perlu khawatir melihat wajah kecewa sang ayah karena perceraiannya dengan Dirga nanti.

Namun, sedetik kemudian Laras sadar, kalau hari bahkan belum berganti. Tanah kubur sang ayah masih basah, tapi ia sudah mencoba merancang bagaimana kelak ia dan Dirga berpisah. 

TBC

A

khirnya slot apdet malam minggu terisi lagi 😁
Terima kasih buat sambitannya di prolog. Semoga sesuai ekspektasi 😅

Terima kasih sudah baca, apalagi meninggalkan vote dan komen 😍

Sampai ketemu, malam minggu depan ...

Sabtu, 4 Mei 2024

Waktu Yang DinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang