Laras sendirian menatap jendela dapur yang dibuka separuh, membiarkan semilir angin pagi menyelinap masuk dan menyentuh lembut wajahnya. Ranting pohon mangga apel yang mulai berbunga, berayun pelan dengan latar langit yang cukup cerah di pukul delapan ini. Ia sendiri baru saja menyelesaikan pesanan muffin coklat yang akan diserahkan ke pemesan siang nanti.
Kedua tangannya yang semula terlipat di depan dada kini mulai terulur pelan memeluk tubuhnya sendiri. Sekelebat ingatan tentang hari kemarin lewat begitu saja di dalam pikirannya. Namun, Laras tak mengingat lagi kata-kata perempuan itu yang kemarin terasa menyakitkan untuknya.
Semua itu telah tertutup dengan kata-kata menenangkan penuh kasih dan sayang yang Dirga rapalkan untuknya. Begitu juga dengan rasa sakit yang diterima tubuhnya akibat ringannya tangan perempuan itu kemarin. Semua kesakitan itu seakan-akan terserap oleh hangatnya pelukan Dirga pada tubuhnya. Kecupan-kecupan kecil yang Dirga berikan pada puncak kepalanya, seolah menghapus rasa pedih akibat rambutnya ditarik tanpa ampun oleh perempuan itu kemarin.
Dirga melakukannya semalaman. Memeluknya dengan penuh perasaan. Ya, Laras merasakannya ... bahkan menikmatinya. Laras merasakan sebuah perlindungan yang lama sekali ia nantikan. Laras juga hampir terlena hingga akhirnya ia sadar semua yang Dirga lakukan hanyalah berlandaskan rasa kasihan.
"Ras!"
Perasaan sedih yang mulai merambat di hatinya diinterupsi oleh terdengarnya suara orang yang sejak tadi ia pikirkan. Lelaki itu menuruni undakan tangga dapur dengan kedua tangan bertolak pinggang. Pagi ini, Dirga tampak tampan dengan kemeja panjang berwarna coklat muda yang dimasukkan dengan rapi ke celana jeans biru gelap sebagai bawahannya.
Gaya berpakaian yang menjadi ciri khas Dirga, untuk segala acara dan suasana. Misalnya, saat pertama kali menemui Laras, dulu.
"Ras, sendirian aja? Ibu kemana?"
"Ibu, lagi ke tukang sayur di perempatan." Laras beranjak dari posisinya menuju chiller yang berada di arah kanannya. Sengaja, menghindari Dirga.
"Ras, kamu habis buat kue apa?" tanya Dirga.
"Muffin coklat. Mau? Sekalian aku buatkan kopi ya ...." Laras yang secara tiba-tiba menoleh ke belakang, terkejut karena Dirga sudah berada begitu dekat dengannya.
Dirga terlihat menggeleng, ia justru berjalan melewati Laras dan berhenti di depan chiller yang berisi puluhan muffin coklat dan dua kotak brownies sekat. Lelaki itu tampak sedang mengendus sekitar, seperti mencari sumber aroma yang menarik perhatiannya.
Dari tempatnya berdiri, Laras ikut mencari tahu bau apa yang sedang Dirga cari. Tapi, tidak juga ia temukan bau aneh di dapur.
"Kamu nggak habis buat puding buah?" tanya Dirga kemudian. "Aku mencium aroma buah yang segar."
"Nggak. Aku tadi cuma kasih topping muffin aja." Laras menunjuk hasil kerjanya.
Hingga tanpa Laras duga, Dirga mengendus ke arahnya. Lelaki itu tanpa aba-aba mendaratkan hidung mancungnya di pundaknya, kemudian turun perlahan menuju pangkal lengan. "Ternyata ini sumber baunya," ucap Dirga sambil tetap menunduk, menghirup dalam-dalam aroma yang sepertinya ia sukai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Yang Dinanti
Любовные романыLarasita Maira pernah hampir kehilangan nyawa karena memulai pernikahan pertamanya dengan cara yang salah. Kejadian itu cukup menggoncang batinnya, yang kemudian membuatnya sadar dan berusaha memperbaiki diri. Waktu berlalu, dan Laras kembali dihada...