Tak terasa hari-hari telah berlalu. Selama sebulan penuh aku berusaha menyingkirkan apapun yang mengganggu pikiranku, seperti Brian contohnya. Dan untungnya aku bisa. Sekaligus aku juga lebih banyak menghabiskan waktu di perpus daripada rumahku sendiri. Entah itu perpus sekolah atau Pusda.
Lalu, hari-hari penuh badai itu telah berlalu. Tinggal menunggu hasilnya saja. Dan menunggu hasilnya itu lebih menegangkan dibandingkan dengan menjalankannya. Mudahan saja lah hasilnya memuaskan.
Kemarin aku ke rumah Mama dan tidur berdua dengan Kak Fella. Saat itu kak Fella terlihat kesal padaku. Mungkin karena perlakuan Brian saat itu. Malam itu hanya dihabiskan oleh keheningan. Aku sih tidak terlalu mempermasalahkannya. Sampai ponsel milik kak Fella berbunyi dan raut wajahnya berubah seketika. Ia jauh terlihat bahagia. Aku mencoba mencuri dengar dan hatiku mendadak sakit saat mengetahui kalau kak Fella bertelponan dengan Brian. Terdengar sesekali kak Fella tertawa malu, lalu saling melempar candaan. Dan terakhir saat kudengar suara kak Fella yang menyatakan 'I love you, Bri' namun dengan volume yang lebih kecil. Apa kak Fella suka dengan Brian?
Pertanyaan itu masih sibuk menari-nari di dalam pikiranku. Kalau memang kak Fella suka sama Brian, berarti aku saingan dengannya dong. Tapi, ia saudariku. Apa aku mengalah saja?
Hari menjelang sore saat aku tiba di rainbow bubble. Di sana sudah ada Anya dengan seorang pria yang umurnya berkisar 20 tahunan. Instingku mengatakan kalau pria itu adalah calon suaminya Anya. Terlihat dari kedekatan mereka berdua. Memang tidak terlihat dekat banget sih, karena Anya yang lebih sering membuang mukannya.
Aku berjalan ragu ke arah mereka, takut menganggu kemesraan yang terjalin di antara dua insan itu. Anya mendongak dan tersenyum saat melihatku berjalan ke arahnya. Pria di sebelahnya yang melihat perubahan raut wajah Anya lantas menolak dan ikut tersenyum namun terkesan dipaksakan. Jadi berasa beneran menganggu 'kan.
"Hai.." sapaku ragu. Takut keberadaanku hanya diterima oleh Anya saja. Dan perkiraanku benar, hanya senyum masam yang kudapat dari calon suaminya Anya itu.
"Aku ganggu ya?" Ujarku saat Anya memaksaku untuk duduk sementara aku merasa tak enak terhadap calonnya Anya itu.
"Gak!"
"Iy-Awww"
Aku meringis melihat wajah calonnya Anya yang terkena cubitan maut milik Anya. Anya tersenyum kembali kepadaku seolah tidak ada yang terjadi. Sementara calonnya itu hanya menatapku sekilas lalu beranjak keluar dengan alasan mau menelepon seseorang.
"Nya, kamu kenapa ngajakkin aku ke sini? Jadi berasa kayak lalat tau disini," protesku.
Anya hanya tersenyum sambil membuat tanda peace dengan tangannya. "Maaf, harusnya sih tadi dia gak ada. Cuma dia maksa buat ikut."
"Okay, jadi kenapa kamu ngajak aku kesini?" Tanyaku to the point.
Ia terlihat gugup. "Bel, ini," ujarnya sambil memberikan sebuah undangan. Aku mengangkat alisku bingung, lalu mengambilnya dari tangan Anya. Kubuka undangan itu dan melihat nama Anya tertulis di sana.
"Kamu mau nikah?" Tanyaku kaget, dengan volume suara yang tidak kecil mengakibatkan berbagai pandangan mengarah ke kami. Anya melotot sebal, aku hanya menyengir tak bersalah, "Lusa?" Sambungku.
Anya mengangguk kaku. Nggak kusangka sahabatku ini lusa sudah akan mengganti statusnya. Aku tersenyum bahagia mendengar kabar ini. Kuharap saja ini semua memang yang terbaik buat dia.
***
Pernikahan Anya kemarin sangat mewah, banyak sekali tamu yang hadir. Dekorasi yanh didominasi warna peach, warna favorit Anya. Saat disana wajah Anya sering memerah, apalagi saat Keinan membisikkan sesuatu di telinganya. Ingin tertawa rasanya melihat Anya yang seperti itu. Walau tadi ada sedikit masalah disana, untungnya itu semua dapat teratasi. Dan aku diundang pas resepsinya saja, sedangkan akad nikahnya hanya dihadiri keluarganya. Padahal aku sangat ingin melihat akadnya tapi tak apalah, resepsi juga masih bagus.
Papa juga sudah mulai bekerja kembali. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Mama, dan juga Brian. Ketemu di sekolah pun juga jarang, paling hanya sekedar berpapasan dan seakan tak mengenal.
Aku turun ke lantai bawah dan melihat Papa berjalan terburu-buru dari kamarnya. Papa bahkan tidak melihat kehadiranku.
"Pa?" Panggilku. Papa menoleh sekilas dan kembali berjalan. Papa mengambil kunci mobil dan segera berjalan menuju garasi. Aku masih terbingung dengan tingkah Papa. Apalagi Papa terlihat seperti orang kesetanan.
Aku mengambil kunci motor dan melaju ke rumah tante Dera. Aku kangen dengan rumah itu dan...Brian. Ya, aku akui aku sedikit rindu padanya. Tak masalah bukan? Ya, walau aku juga tahu Kak Fella ternyata juga menyukai Brian, tapi selama hanya sebatas suka aku masih bisa dong bersaing dengannya tanpa perduli statusnya.
Aku memarkirkan motorku di depan pintu masuk. Baru mau membuka pintu dan mengucapkan salam, suara derap kaki terdengar menuju pintu. Aku memegang kenopnya dan berniat membuka, namun pintunya telah terbuka lebih dulu. Aku mengerjabkan bola mataku berkali-kali, berharap kalau yang ada di depanku hanya mimpi. Brian sedang bersama dengan Kak Fella yang menggelayuti lengan Brian. Brian pun sama, memandangku dengan wajah terkejutnya.
"Bri, ayo buruan. Nanti tempatnya penuh nih," Kak Fella membuyarkan lamunanku dengan Brian. Brian mengerjap lalu mengangguk kaku ke arah Kak Fella dan berlalu meninggalkanku. Aku berbalik, menatap kepergian mereka masih dengan tatapan tak percaya. Brian sempat menolehkan wajahnya ke arahku, tapi hanya sekilas.
Niatku ingin masuk kuurungkan. Tubuhku merosot, dan terduduk di lantai dengan tangan masih memegang kenop pintu. Air mataku merosot satu persatu, masih tak menyangka akan hal yang kulihat tadi. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Apa mereka pacaran? Tapi sejak kapan?
Drrtt...drrtt..
Getar ponsel mengalihkan perhatianku sedikit. Kulihat nama yang terpampang di sana. Nama yang telah lama tak kulihat lagi. Mili.
Kuhapus air mataku dan menormalkan suaraku yang pasti akan sedikit bergetar.
"Halo?" Sapaku.
"Bel, bisa kita ketemu sekarang. Ada hal yang mau aku bicarain."
Aku menimang-nimang sebentar, "Bisa, kita ketemu di Rainbow Bubble aja ya."
Kumatikan telepon saat mendengar kalimat persetujuan darinya. Mungkin lain kali aku akan kembali ke sini. Kunyalakan motorku dan melaju ke tempat yang kutuju. Dalam hati aku berpikir, apa yang mau dia bicarakan? Jangan sampai tentang Brian lagi.
Aku memarkirkan motorku, untung saja masih ada yang kosong. Karena tempat ini biasanya ramai pengunjung. Sebenarnya ini tempat lama tapi baru terkenal mungkin, karena waktu ini tempat ini tak seramai sekarang.
Aku mencari siluet orang yang sangat kukenal dan menemukannya sedang duduk di tempat paling ujung. Aku mendatanginya, dengan mengenyahkan semua pikiran burukku. Masih ingat dengan perlakuannya saat terakhir kali kami bertemu. Tak terlalu baik. Jadi, tak ada salahnya untuk waspada. Bukan maksud untuk menuduh yang enggak-enggak, tapi 'kan perlakuannya waktu itu nggak enak banget. Main menyiram orang seenaknya, bahkan sampai mencecarku dengan berbagai kalimat. Apalagi banyaknya orang yang melihat,membuatku malu.
"Hai," sapaku riang dengan senyum untuk menutupi kewaspadaanku. Ia membalas senyumku dan menyuruhku duduk.
Penampilannya sekarang terlihat berbeda dari waktu itu. Sekarang ia terlihat lebih fresh dari waktu itu. Wajahnya berseri walau tak dapat menutupi kilatan emosi di matanya, yang membuatku sedikit menambah tingkat waspadaku.
"Apa yang mau kamu omongin?"
Ia menatapku lama, dengan kilatan amarah yang masih terlihat jelas di kedua bola matanya, "Fella, dia harus kita balas."
***
Haiii ini next partnya. Dan buat @najahanifah sorry ya aku gk bisa update langsung banyak atau sehari sekali. Soalnya pikiranku gak selalu terpaku pada cerita ini tapi terbagi di cerita lainnya. Dan aku menulis kalau idenya ngalir terus.
Thanks ya buat yang udah ngeluangin waktunya buat baca cerita ini.
See you in next part!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled Love
Genç KurguKedua hati yang menyatu, menyisakan perih di lain hati. Kedua insan yang mencinta, memberi luka pada insan lainnya. Kedua rasa yang mengelilingi, menghapuskan rasa lain di sekitar. Memang selalu ada cobaan, rintangan, hambatan, halangan, di saat dim...