Seperti biasa paginya pengangguran, aku tak melakukan apa pun setelah membersihkan rumah. Hanya duduk di sofa ruang tamu sembari melamunkan masa depan atau memainkan ponsel. Rumah ini biasa sepi karena Mas Langit sibuk di rumah sakit. Akan ramai ketika aku dan Mas Langit sama-sama di rumah ini. Namun ketika kakakku itu sedang jaga malam, ya ... mau tak mau rumah ini hanya aku yang menghuni. Beberapa bulan lalu ada ART, tetapi berhenti karena pulang kampung dan tak kembali lagi. Dan sampai sekarang belum ada ART yang dipercaya oleh Mas Langit.
Omong-omong tentang kakakku itu, Mas Langit saat ini sedang menyiapkan segala sesuatunya sebelum dia pergi bekerja.
"Bumi, jas Mas di mana?"
Sebuah suara terdengar. Aku mendongak, menatap kepala yang menyembul dari lantai dua.
"Jas dokter? Di lemari nggak ada Mas? Di tempat jajaran jas warna kalem."
Aku sedikit berteriak karena Mas Langit sudah berjalan masuk ke kamarnya.
Beberapa detik hening, kuduga dia telah menemukan jas kebanggaannya itu. Jas yang dia peroleh dengan jerih payah dan keringatnya meskipun saat gelar diraih, orang tua kami pergi menemui Tuhan.
Kepala masku itu kembali menyembul. "Mana? Nggak ada?"
Aku pun kembali mendongak. "Ada! Di lemari jas-jas yang warna kalem. Coba cari yang bener. Udah aku tata sesuai warna itu."
"Nggak ada, Dek! Sini liat sendiri," teriaknya sembari berjalan ke arah kamarnya lagi.
Aku berdecak. "Males! Makanya cari istri dong!"
Aku yang akan kembali menatap ponsel terkejut dengan Mas Langit yang kembali menyembulkan kepalanya. "Hubungannya apa jas sama istri? Kamu kalo ngomong ke mana-mana."
"Ya ... biar ada yang ngurus. Masa ngerepotin adeknya terus," celetukku yang membuat Mas Langit mengangguk-angguk.
"Oke, besok kamu di panti asuhan, ya. Kamu ngerepotin Mas juga, nih."
Dark jokes, ngeri euy didengar.
Alamak! Ngambek nih perjaka satu.
Tanpa lagi disuruh, aku dengan sigap berdiri dan berlari ke arah kamarnya.
"Jangan macem-macem sama anak yatim piatu, dosa loh," ujarku saat telah sampai di lantai kamarnya.
"Sama, Mas juga yatim piatu," ujarnya sewot.
Aku terkekeh, lalu mencari sesuatu yang dia cari. Setelah mengobrak-abrik lemarinya, kutemukan juga jas putih tanpa sedikit pun noda itu.
Aku menyengir sembari menyodorkan jasnya, tentu dengan lagak sopan bagai ajudan pada bosnya. "Maaf Ndoro, ternyata saya gantung di bagian sweter."
Mas Langit yang sedari tadi bersedekap sembari menontonku yang sibuk mencari jasnya, memutar bola mata. "Kalo udah ada tempatnya tuh, jangan dipindah-pindah. Bikin bingung aja. Kamu juga yang repot," katanya sembari menjewer telingaku yang tak sakit sama sekali.
Di rumah ini kami membagi tugas. Untuk urusan cuci baju dan membersihkan rumah, itu tanggung jawabku. Lainnya urusan Mas Langit. Apa pun itu. Mas Langit bisa meng-cosplay siapa saja. Keamanan, orang tua, kakak, cleaning service, koki, dokter dan masih banyak lagi. Dia segalanya bagiku dan satu-satunya yang terbaik di antara yang terbaik.
Aku hormat. "Siap, Pak Dokter! Besok nggak diulangi lagi."
Mas Langit mengangguk, lalu membawa segala barangnya ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat.
"Sibuk hari ini, Mas?" tanyaku sembari mematahkan pinggiran roti bakar, lalu meletakkan di piring Mas Langit.
"Lumayan. Minimal pulang jam sepuluhlah kalo nggak ada operasi dadakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...