06. Tentang Alina

5.2K 257 0
                                    

Aku melihat lagi ke arah kaca berada. Meneliti kondisi wajahku setelah semalam menangisi seseorang yang menjadi bagian dari kenangan tiga tahunku selama kuliah.

Tak bagus.

Mataku dua-duanya membengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti langsung bisa menebak bahwa aku habis menangis semalaman. Tak mungkin orang-orang menebak bahwa mataku membengkak ini karena tersengat lebah.

Ya, mungkin-mungkin saja, sih, tetapi ... ya, mana mungkin, sih? Ah, sudahlah. Tak usah memikirkan hal yang tak penting. Saat ini yang harus kupikirkan adalah bagaimana aku bertemu dengan Mas Langit dengan keadaan seperti sekarang. Pasti dia akan langsung khawatir begitu melihat kondisi mata ini.

Setan sialan!

"Bumi! Turun sarapan."

Suara Mas Langit dari lantai satu terdengar sampai ke kamar, membuatku berjalan mondar-mandir dengan langkah tak karuan.

Aku berkacak pinggang memikirkan bagaimana mengelabuhi Mas Langit. Haruskah aku jujur? Tidak, tidak. Bakal panjang urusannya. Kubilang disengat lebah? Enggak masuk akal. Kamarku bersih dari serangga apa pun. Lalu apa?

Sembari mengigit kuku aku terus memikirkan alasannya sampai bunyi langkah menaiki tangga terdengar.

Itu pasti Mas Langit. Aku pun langsung beranjak mengambil kaca mata hitam juga handphone-ku. Lalu berpura-pura sedang membuat video.

"Pagi-pagi gini enaknya ngapain, ya? Lari pagi? Aduh kulitku sensitif banget kalo kena matahari. Aku harus ngolesin tabir surya diseluruh badan biar nggak merah-merah gitu."

Mas Langit yang berada di ambang pintu menyandarkan setengah tubuhnya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada melihat salah satu hal aneh dariku yang sudah tak lagi terasa aneh karena saking seringnya kulakukan. Yah, ini satu-satunya hal yang terpikirkan begitu saja.

"Huh, kemenyek," katanya ketika melihatku berbicara bak vlogger yang sedang merekam video.

Aku pura-pura mendecak sebal ketika dia berkata begitu.

"Udah, ayo sarapan. Mas mau berangkat kerja ini," katanya sembari berjalan keluar dari kamarku dengan kepala menggeleng-geleng kecil.

Aku bernapas lega. Setelahnya aku mengikuti langkah Mas Langit. Tentu dengan masih menggunakan kaca mata dan telepon yang merekam.

Mas Langit menyodorkan smoothies bowl buah naga yang dihias cantik ke hadapanku setelah pantatku mantap melekat pada kursi.

"Waw, sarapan gue cantik banget 'kan? Ini kakak gue, loh, yang buat," ujarku sembari memposisikan kamera agar bisa men-shoot setengah tubuhku.

"Aduh, aduh. Susah," gerutuku ketika tripod kecil itu tak mau diatur oleh tanganku.

Mas Langit yang melihat itu sigap membantuku.

"Thank you, Brother," ujarku yang membuat Mas Langit memutar bola matanya.

Aku memegang sendok kayuku dengan semangat.

"Mari kita lihat, ada apa aja isi dari smoothies ini."

Aku totalitas sekali. Sudah basah, sekalian menceburkan diri.

Mas Langit melirik sebentar sebelum akhirnya memilih untuk menyantap sarapannya sembari membaca jurnal di ponselnya.

Orang pintar memang beda.

"Tahu enggak, Alina sakit."

Di tengah aku me-review makanan Mas Langit, kakakku itu bersuara.

Aku memiringkan kepala agar bisa menatap Mas Langit di seberangku yang tertutupi oleh ponselku.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang