Malam ini adalah malam ulang tahun Alina. Aku sudah mewanti-wanti Mas Lintang untuk tidak mencariku atau memperkenalkanku di depan para tamu yang hadir. Hubungan kami hanya diketahui segelintir orang, aku tak mau Pak Galuh atau keluarganya yang lain tahu.
Takut dijulidin brokkk. Meksipun Mas Lintang dan keluarga intinya memang baik tak pernah memandang latar belakangku, tapi belum tentu dengan sepupu serta tante-tantenya. Ih takut banget kayak yang di sinetron-sinetron.
Aku berkata padanya bahwa acara itu harus fokus pada Alina. Dia pemeran utamanya malam ini. Jangan berikan panggung untukku.
Itu sebabnya sekarang aku duduk di meja yang ditemani oleh lima pria berjas hitam termasuk Pak Galuh dan Mas Langit.
Meskipun aku tak menjadi sorotan di acara itu, tetapi aku menjadi sorotan di meja itu karena menjadi satu-satunya wanita di antara para lelaki berwajah 'setipe' dengan Mas Langit dan Pak Galuh. Maksudnya ganteng semua brokkkkk. Sebenernya ganteng itu relatif, tapi karena mereka berduid dengan pakaian bermerk dan tampilan rapi, jadinya kelihan tampan semua.
Ini kalo pacar aku masih Latan, kuincar salah satu dari mereka, tapi karena Mas Lintang si maha sempurna jadi ya ga boleh jelalatan ke om-om. Haha.
"Salam kenal om-om, aku Bumi adiknya Mas Langit, mahasiswanya Pak Galuh, tetangganya Mas Lintang," ujarku lengkap yang membuat tiga pria yang baru kutemui di sana itu terkekeh.
"Si Lintang di panggil mas, giliran kita om, padahal dia paling tua di antara kita," ujar salah seorang pria yang belum kuketahui namanya.
Aku terkekeh. "Request mau dipanggil mas boleh kok, Om, syaratnya cuma sering-sering bawa aku jalan aja," ujarku yang membuat Mas Langit meraup wajahku.
"Mas aduin ke pawang kamu loh ya," ancamnya yang membuatku menatapnya tajam.
Aku kontan mendecak. "Ish iya-iya, ga seru banget jadi orang. Padahal cuma bercanda doang ye khan."
Pak Galuh mengakak. "Takut banget keknya," ujarnya.
"Yaiya takut orang pacarny-" Aku langsung membekap mulut Mas Langit.
"Mas, diem atau aku hancurin wibawa Mas di depan Mbak Dania," bisikku.
Tak mempan. Dia masih berusaha membuka bekapanku di mulutnya.
"Atau aku kasih tahu Mbak Dania kalau Mas Langit punya kolor pinky-pinky!"
Dia tertawa lalu mengangguk.
Oke kami sudah bersepakat untuk sama-sama menyimpan rahasia. Namun tiba-tiba ....
"Tang!" sapa Mas Langit yang membuatku panik dan langsung pergi dari tempat dudukku.
Ish!
***
Author POV
Setelah acara selesai dan tamu sudah pulang, semua orang berkumpul di rumah ibu Lintang termasuk Sarah dan Tomy. Mereka semua berkumpul di ruang tengah sembari mengobrol santai.
Bumi sendiri berada di kamar Alina bersama Lintang sedang menemani anak itu tidur di sana setelah seharian kelelahan acara ulang tahunnya dan membuka kado.
Bumi melihat pria di hadapannya menatap anaknya begitu sayang. Tangannya mengelus punggung Alina begitu lembut. Tanpa diberitahu semua orang sudah tahu betapa besar rasa sayang pria itu pada putri kecilnya.
Lintang mendongak menatap Bumi yang tidur di samping Alina.
"Kalau seandainya kamu memiliki satu hal berharga yang kamu jaga sepenuh hati, tapi sayangnya dia bukan milik kamu dan tiba-tiba harus kembali kepada pemiliknya, kamu akan memberikannya atau mempertahankan di sisi kamu."
Bumi berpikir sejenak karena dia tak mau salah berucap sebab jika Lintang meminta pendapatnya itu berarti bukan hanya sekadar bertanya. Pasti pria itu memang sedang mempertimbangkan hal penting.
"Semua situasonal sih, Mas. Cuma kalo hal tersebut di posisiku, aku berusaha melihat dari kacamata si pemilik. Itu milik dia dan yang paling berhak terhadap hal tersebut adalah pemiliknya. Coba dibalik posisinya kalau barang berharga tersebut milik aku, pastinya aku mau milik aku kembali kepadaku. Tapi kembali lagi, seperti kata Mas Lintang harus disesuaikan dengan situasi. Kalo awalnya barang tersebut ditelantarkan oleh pemiliknya, giliran sudah diperbaiki atau diperbagus malah mau diambil, ya kalau aku yang di posisi itu, aku ga bakal kasih."
Lintang mengangguk-angguk atas jawaban Bumi. Dia tersenyum tipis dan memuji jawaban bijak pacarnya itu yang membuatnya bisa mengambil keputusan atas masalahnya.
"Titip Alina sebentar, ya," katanya yang diangguki Bumi.
Lintang mencium kening dua perempuannya, lalu keluar dari kamar itu menuju ruang tamu untuk bergabung dengan Sarah, Tomy, Berlin, dan orang tuanya.
Timing yang benar-benar tepat karena Sarah dan Tomy sedang meminta pendapat keluarga Lintang perihal Alina yang akan mereka bawa ke Singapur untuk tinggal bersama mereka.
"Kalau kami terserah Lintang aja, Sar. Yang paling berhak memutuskannya cuma dia. Kita bagian support saja keputusan kalian," ujar Riana kala Lintang sudah bergabung dengan mereka.
Tomy lalu bertanya pads Lintang bagaimana keputusannya.
"Gue belum tahu kesiapan kalian buat jaga Alina," ujar Lintang yang membuat Tomy segera menjelaskannya.
"Gue udah riset banyak hal. Gue juga udah konsultasi ama dokter anak di sana," ujar Tomy.
"Cara nyuntik? Kalo dia hipo atau hiper udah tahu cara ngatasinnya gimana?"
Tomy kembali mengangguk. "Di sana ada dokter keluarga yang siap mantau Alina."
Lintang menggeleng tegas. "Gue tanya lu berdua, bisa nggak ngatasin hal itu? Soalnya dua hal itu bisa terjadi pada waktu yang nggak disangka-sangka. Pas tidur misalnya. Dokter nggak 24 jam bersama kalian 'kan? Di saat-saat seperti itu penanganannya harus cepat."
Sarah membantu Tomy meyakinkan Lintang. "Gue udah belajar langsung dari dokternya selama beberapa minggu, lu nggak perlu khawatir soal kesiapan kami," ujarnya yang membuat Lintang semakin mempertegas sikapnya.
"Nggak perlu khawatir gimana? Ini masalah serius bagi gue, penyakit Alina bener-bener butuh pengawasan ketat. Kalau kalian cuma modal bilang siap, semua orang juga bisa. Coba buktiin kesiapan kalian itu. Gue pasti izinin Alina kembali ke kalian kalau kalian bener-bener siap buat jaga dia. Gue juga sadar dia bukan anak kandung gue, gimana pun kalian lebih berhak. Cuma kalau kalian belum siap, sorry banget Alina masih harus sama gua," ujar Lintang yang tak dapat didebat oleh mereka karena yang paling tahu kondisi Alina adalah Lintang. Apalagi pria itu memang dokter anak yang menangani kasus-kasus penyakit seperti Alina.
"Terus setelah Alina lo bawa, Sar, lu yakin bisa 24/7 jagain Alina? Nggak lu tinggal rapat? Kalian sama-sama sibuk di sana, Alina bakal ditinggal-ditinggak nggak?"
Sarah yang awalnya termenung karena ucapan Lintang tadi, langsung seperti memiliki harapan.
"Gue udah sampe milih nanny yang berpengalaman tentang penyakit ini. Lo harus tahu betapa sulitnya nyari kriteria itu."
Lintang mengangguk. "Gue cuma butuh pembuktian pengetahuan kalian tentang penyakit Alina. Setidaknya hal-hal basic tentang cara pasang alat cek GDA dan omnipod, dosis untuk insulinnya, serta hal-hal basic lainnya. Baru gue izinin dia kembali ke orang tua kandungnya."
Tanpa sepengetahuan mereka, ada seorang anak kecil yang sedang menguping pembicaraan mereka dari balik tembok pembatas ruang tengah sembari menahan tangisannya.
Dia lalu berlari ke kamarnya sebelum Bumi keluar dari kamar mandi dan semua orang sadar dia ada di sana mendengarkan percakapan itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...