10. Cabe Hijau di Gigi

4.6K 235 5
                                    

Dari siang hari sampai sore hari, kamar Alina tak pernah hening. Ada saja bahan obrolan di antara aku, Mas Langit, Mas Lintang, dan di si Setan.

Yang tanya kenapa aku masih di sana padahal keluarga perempuan Mas Lintang akan datang, jawabannya karena aku akan pulang setelah ibu Mas Lintang dan Mbak Berlin datang. Kemungkinan tengah malam nanti karena pesawat mereka delay akibat badai.

Yang tanya Mbak Sarah ke mana, dia baru saja terbang ke negara tetangga karena urusan bisnis.

Jangan dihujat, keadaan Alina sudah sangat baik kata Mas Lintang. Menginap di sana untuk memulihkan tenaga saja. Lagi pula Mbak Sarah juga nanti akan kembali lagi meski di waktu subuh. Maklum, semua keluarga Mas Lintang orang sibuk. Bapaknya di Amerika, ibu dan kakak perempuannya di Hongkong, mantan istrinya di Singapura, tantenya di Prancis dan sebagainya. Aku malas menyebutkan semuanya.

"Mas, aku pulang, ya. Temen-temen mau mampir ke rumah buat rapat bisnis. Nanti kalo butuh telepon aja," ujar Latan yang menghentikan obrolan Mas Lintang dan Mas Langit tentang pasien yang akan dioprasi Mas Langit nanti malam.

Aku menatapnya sinis. Alasan, mah, itu. Pasti mau ketemu cemimiwnya.

Mas Lintang mengangguk.

"Mbak Bumi nggak sekalian ikut? Alina nggak papa kok, ada saya di sini. Saya libur hari ini," tawarnya padaku.

Engga, Mas. Nanti saya gatel-gatel deket sama kuman.

"Nggak papa, Mas. Nanti bareng Mas Langit aja sepulang kerja," ujarku yang mendapat anggukan darinya.

Latan pun berpamitan, dan akhirnya pergi juga dari sana. Aura kamar itu seketika langsung bercahaya. Emang aura setannya nggak kaleng-kaleng setan satu itu.

"Lang, cari makan, yuk. Kayaknya Mbak Bumi belum makan siang tadi."

Mas Langit yang sedang mengecek ponselnya mendongak, tetapi bukan untuk menatap Mas Lintang, melainkan menatapku. Dia tersenyum ambigu, tetapi anehnya aku paham artinya. Astagahhh. Mas Langit aneh, tetapi aku lebih aneh karena paham artinya.

"Sama Bumi aja sekalian makan di tempat. Gue di sini aja jaga Alina sekalian mau istirahat dulu, bentar lagi bakal perang di ruang operasi."

Ya ampuuun. Kurang perfect apa lagi masku ini, kawan. Dia sayang sekali pada adiknya, peka juga. Top pokoknya deh. Silakan yang mau daftar jadi karyawan sehidup sematinya. Kirim CV ke aku, ya. Proses pemilihan ketat, tak ada jalur orang dalam. Adil seadil-adilnya.

Aku mengangguk. "Ayo, Mas," ajakku sembari bangkit dari dudukku. Duh, semangat amat, padahal yang mengajak cari makan masih duduk anteng di tempatnya.

Mas Lintang mengangguk, dia pun bangkit membawa dompet serta kunci mobilnya. Kami pun keluar bersama, tetapi sebelum itu, aku memberikan banyak love sign untuk kakakku tercinta itu. Dia hanya terkekeh dan memberikan dua jempolnya.

Aku berjalan beriringan dengan Mas Lintang yang super ganteng dengan setelan kemeja liris putih dan celana coklatnya.

Dia berjalan bak model di antara orang-orang yang berlalu lalang di rumah sakit. Meski begitu, aku tak begitu jomplang berjalan beriringan dengannya. Setelan dress slim fit navy yang kupakai ini membuat kesan lebih dewasa. Sehingga siapa pun yang melihatnya pasti mengira aku pasangannya, bukan anaknya. Sayang seribu sayang, sendal yang kupakai adalah sendal selop rumahan. Wkwk. Nggak papalah. Biar aura cici-cicinya tambah kelihatan.

"Mau makan di mana, Mbak?" tanya Mas Lintang saat kami telah berada di lantai dasar.

Yah, udah serasi masa panggilnya 'Mbak' sih, Mas. Kan kesannya kayak mbak-mbak SPG.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang