"Denger-denger dari Mas Langit, Mas Lintang mau resign?"
Mendengar pertanyaanku, dia tak terlihat terkejut atau tersinggung. Dia malah mengangguk sembari mengunyah sesendok nasi goreng.
"Iya, Mbak. Mungkin bulan depan. Soalnya bulan ini banyak pasien yang butuh operasi."
Aku mengangguk-angguk. "Kalo profesi dokter itu cita-cita Mas Lintang, kenapa mau berhenti jadi dokter?"
Dia tersenyum tipis sebentar. "Saya nggak berhenti seterusnya, hanya sebentar saja karena mau fokus dulu jaga Alina, sampai dia bisa menjaga dirinya sendiri."
Aku mengangguk-angguk, lalu aku mulai menceritakan hal yang kudengar sendiri dari anaknya.
"Beberapa minggu ini, saya sering sekali bertukar cerita dengan Alina. Senangnya ketika dia berkata jujur tentang perasaannya."
Mas Lintang terlihat terkejut. "Oh, ya? Kok saya nggak tahu?"
Aku terkekeh. "Ini rahasia sebenarnya antara saya dan Alina, tetapi saya langgar karena kayaknya Mas juga harus tahu."
Dia meletakkan sendoknya lalu memberikan segala atensinya untukku.
"Alina tahu kalau Mas Lintang mau berhenti bekerja dari rumah sakit dan dia sedih tentang hal itu."
Dia sedikit terkejut mendengarnya.
"Dia senang melihat ayahnya menjadi pahlawan bagi orang yang sakit seperti dirinya. Katanya, kalo Mas Lintang berhenti jadi dokter, itu berarti satu malaikat baik berhenti dari tugasnya menyembuhkan penyakit orang-orang. Dia merasa bersalah karena menjadi alasan Mas Lintang berhenti bekerja. Dia juga merasa menjadi beban bagi Mas Lintang."
Mas Lintang meraup wajahnya lalu menyandarkan tubuhnya, mungkin dia baru tahu perasaan anaknya tentang pekerjaannya.
Mas Lintang terdiam cukup lama. Aku tak mengganggunya karena aku tahu dia butuh berpikir tentang ini.
"Terima kasih, ya, Mbak Bumi atas informasinya. Jika Mbak Bumi nggak bilang ini, saya nggak akan pernah tahu tentang perasaan Alina."
Aku mengangguk.
"Dia cerita apa lagi selain tentang pekerjaan saya?"
Aku berpikir sebentar. "Banyak, Mas. Dia bercerita banyak hal."
Lalu baru teringat tentang keluhan-keluhan Alina atas sekolahnya. "Oiya, Mas Juga perlu tahu tentang salah satu gurunya yang ternyata galak, terus teman-temannya yang tak mau berteman dengannya karena Alina terlalu suka membaca buku. Saya rasa Mas Lintang perlu tahu tentang ini agar ke depannya Alina bisa nyaman di lingkungan sekolahnya."
Mas Lintang kembali meraup wajahnya. "Saya nggak pernah mendengar cerita itu dari Alina maupun Sus Emy."
Aku mengangguk. "Ini memang tak diceritakan pada siapapun karena Alina tahu kalau bercerita pada Sus Emy pasti akan diceritakan pada Mas Lintang. Dia takut kembali menjadi beban untuk Mas Lintang."
Setelah dari rumah sakit memang banyak yang berubah antara aku dan Alina. Kami semakin dekat. Sangat-sangat dekat. Mungkin karena hampir setiap hari aku selalu bermain dengan anak itu baik di halaman rumahnya atau di rumahku, di siang hari atau di sore hari sebelum Mas Lintang kembali bekerja.
Aku merasa prihatin dengan anak itu, apa karena kami sama-sama kehilangan sosok 'mama'? Atau karena penyakit kronisnya? Entahlah. Yang jelas, berdekatan dengan Alina seperti aku mempunyai dua Kebo (anjing peliharaanku).
"Ternyata saya tak sedekat itu dengan anak saya sampai dia bercerita pada orang lain."
Aku tersenyum tipis lalu bangkit membersihkan bekas peralatan yang kupakai barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...