09. Dih, Cowok Kok Playing Victim

5.2K 255 2
                                    

"Mbak Bumi suka sama saya, ya?"

Lah??

Masnya cenayang?

Aku berusaha kalem dengan tersenyum tipis. Padahal jantung ini rasanya meletup-letup tak jelas.

"Kalo iya kenapa, kalo enggak kenapa Mas Lintang?" tanyaku balik yang membuatnya terkekeh renyah.

Dia menggeleng kecil. "Nggak papa, aneh aja Langit kemarin tiba-tiba bilang kalo Mbak Bumi suka sama saya. Nggak beneran 'kan?"

Aku tersenyum tipis. Batinku mencak-mencak menghantam wajah Mas Langit dalam bayangan.

Woalah congor ember.

Aku menatap matanya lalu membiarkan detak jantung yang temponya ini tak seirama dengan oksigen yang tiba-tiba menipis masuk dalam hidungku akibat bertatapan dengannya.

Jantungku yang berdebar kencang mengundang kupu-kupu yang beterbangan dalam perutku. Seolah aku kembali pada kenangan cinta pertama yang biasa disebut cinta monyet karena begitu kanak-kanak saat itu.

Lalu aku pun memutuskan pandangan itu lebih dulu ketika mulai tersadar ternyata perasaan ini tak asing. Seperti sudah lama bersemayam dalam tubuhku setiap aku bertatapan dengannya. Anehnya, perasaan ini tak pernah kutemukan saat bersama Latan.

Satu pertanyaan, apakah aku pernah sekalipun mencintai Latan jika mencintai kakaknya semudah ini? Atau aku hanya merasa nyaman dengannya?

Lalu pengkhiyanatan kemarin mengapa sebegitunya kutangisi jika aku saja mudah menaruh cinta pada lain hati?

Latan, kutunggu jawaban jujurmu. Ingatkan aku untuk menghubungi si Setan.

"Kenapa? Nggak boleh, ya, Mas?" tanyaku dengan tersenyum tipis.

Mas Lintang mengambil satu kotak yang dia bawa tadi. "Saya siapa bisa larang Mbak Bumi. Itu hak Mbak Bumi, tapi ... saya sarankan jangan."

Aku menatap Mas Lintang yang baru saja mengambil gunting dari dalam saku celananya.

"Karena saya nggak bisa membalasnya."

Sudah kuduga itu jawabannya.

"Saya nggak perlu balasan kok Mas. Asalkan Mas Lintang nggak protes aja pas saya perlihatkan love language saya."

Mas Lintang menautkan kedua alisnya. Tak ingin disalahpahami, aku segera meluruskannya.

"Yang pastinya nggak bakalan ngerugiin Mas Lintang kok."

Mas Lintang menatap ke arahku dengan tatapan lembutnya seolah tengah menatap anaknya. Bibirnya tertarik membentuk garis senyuman.

"Terima kasih sudah menyukai saya, Mbak Bumi."

***

Siang hari saat Alina sudah terbangun, anak itu kebingungan karena berada di rumah sakit.

"Kak Bum, aku sakit lagi, ya?" katanya yang sudah duduk tegak di atas brankarnya.

Aku mengangkat wajah yang semula menatap ponsel, saat seseorang bersuara. Aku tersenyum menanggapinya lalu bangun dari dudukku untuk menghampirinya.

"Iya, tapi sekarang udah baikan 'kan?"

Dia terlihat murung, membuatku mengelus lembut kepalanya yang menunduk lesu.

"Kenapa? Kan sekarang kamu sudah sehat lagi?" tanyaku ketika melihat dia masih murung.

Alina menggeleng membuatku kebingungan.

Lah, nih bocah ngapa yak?

Aku juga bingung nggak pernah ngadepin anak kecil.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang