36. Bukan Duda Labil

3.8K 225 5
                                    

Aku menebalkan muka dan mendekat ke arah Alina.

“Hey, sama siapa ke sini?” tanyaku yang akan mensejajarkan tinggi dengan gadis kecil itu.

Sayangnya, Alina justru melangkah mundur saat tahu aku akan mendekatinya. Lalu, Mas Lintang pun mengambil alih posisi itu.

Alina digendong Mas Lintang dan kali ini wajah gadis itu disembunyikan di dada bidang sang ayah.

“Kenapa ke sini? Butuh sesuatu?” tanya Mas Lintang dengan intonasi lembut.

“Sus Emy sudah pulang, Om Latan tidur, aku sendiri di rumah. Kata Om Langit Papa ada di sini,” jelas Alina dengan merengut yang membuat Mas Lintang mengelus punggung anaknya dengan lembut.

“Mau main di sini dulu atau balik ke rumah?” tanyanya.

Alina menggeleng.

“Nggak mau di rumah. Mau di rumah nenek! Alina mau ke rumah nenek saja!”

Dia benar-benar ngambek sepertinya.

Adu duh gimana yak.

Sepertinya alasan Alina mengambek karena Mas Lintang ada di sini bersamaku.

Aku pun menyarankan Mas Lintang untuk menuruti keinginan Alina. Meski aku tahu hal itu akan memisahkanku dengannya.

Dia mengangguk.

"Ayo sekalian ikut. Kemarin Mbak Berlin bilang kangen sama kamu."

Aku sempat melongo mendengar ucapan Mas Lintang itu. Kenapa malah menyuruhku ikut dengan posisi sang anak yang sedang tak menyukai kedekatanku dengannya.

Astaga, memang bapak satu ini perlu di beri pengertian.

Aku menggeleng, tetapi dia mengangguk.

"Nggak papa, ayo ikut," katanya tanpa suara.

TIba-tiba Alina berkata dengan manja kepada bapaknya, "Papa ... berdua aja, ya. Jangan sama Kak Bumi juga."

Mak deg trakatak.

Rasanya, ada yang luka, tapi tidak berdarah.

Mas Lintang menjauhkan wajah Alina yang bersembunyi di dada bidang Mas Lintang agar dia bisa menatap wajah anaknya. Lalu dia memberi penjelasan pada Alina hingga anak itu akhirnya menurut dan menerimaku.

“Kamu siap-siap, ya. Saya mau ambil keperluan Alina dulu," katanya.

Aku mengangguk, setelah itu
Mas Lintang berlalu setelah mengatakan kalimatnya.

Aku pun menuju kamar untuk bersiap-siap. Tubuhku terasa lelah setelah memasak, ingin rasanya aku berbaring di atas tempat tidur yang empuk itu. Sayangnya, aku harus menemani Mas Lintang untuk mengantarkan Alina ke rumah Tante Riani.

Semangat! Demi kelancaran hubungan dengan Mas Pacar.

Tidak perlu waktu lama untukku berdandan. Aku hanya perlu terlihat lebih segar dan mengganti pakaian dengan yang baru karena bajuku yang tadi bau masakan. Setelah itu, aku pun bergegas menghampiri Mas Lintang di rumahnya.

"Sudah siap?" tanya Mas Lintang saat melihat kedatanganku.

Aku mengangguk lalu melihat Alina yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil.

"Beneran nggak papa? Kalau dia tambah ngambek karena saya ikut gimana?" ujarku yang membuatnya menggeleng.

"Saya sudah kasih pengertian ke dia, kamu ikut bukan semata-mata karena ingin berdekatan dengan saya, tetapi karena memiliki keperluan dengan Mbak Berlin."

Aku pun mengangguk tak ingin Alina menunggu lebih lama lagi. Mobil pun melaju menyusuri jalanan kota menuju rumah mewah Tante Riana yang selalu membuatku betah. Yakali ada orang nggak betah di rumah semewah istana kerajaan itu.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang