11. loh, Kok?

4.1K 256 5
                                    

Aku terusik ketika wajahku terasa disapu dengan hembusan angin lembut. Rasanya hangat. Sekali, dua kali.

Awalnya kukira hanya angin lewat, tetapi ketika kesadaran mulai datang, aku sadar itu bukan hanya angin lewat. Jadi, aku memutuskan membuka mata meski rasa kantuk masih menyerang mataku.

Suasana temaram, tetapi meski begitu aku masih bisa melihat sesuatu termasuk jam yang menunjukkan pukul dua dini hari dan orang di depanku yang membuatku terusik dari tidurku.

Mas Langit? Atau Mas Lintang? Aku bingung di antara keduanya karena mataku masih buram akibat belek.

Tapi masa sih, Mas Lintang? Ya, kali, ngarep amat, Bum.

Tapi bisa jadi sih, karena Mas Langit 'kan sedang melakukan operasi sampai subuh nanti.

Setelah beberapa saat barulah aku bisa mengetahui sosok itu. Benar, dia Mas Lintang.

Pertanyaannya kok bisa? Ini aku yang kegatelan atau dia memang berniat tidur seranjang denganku?

Bentar-bentar, mari kita mengingat kembali.

Tadi aku mengobrol panjang dengan Mas Langit sebelum dia pergi bertempur. Mas Lintang sampai ketiduran di ranjang yang disiapkan untuk keluarga pasien. Lalu aku berbincang sebentar dengan Alina yang sempat terbangun agar anak itu kembali tertidur. Baru setelahnya aku tiduran di sofa sembari bermain ponsel. Lalu setelahnya aku lupa. Sepertinya aku tertidur.

Berarti tadi aku di sofa? Kenapa bisa di ranjang sekarang? Aduh, sepertinya tadi aku ngelindur dan pindah ke sini karena sofa sempit.

Aku sudah berniat bangkit dan pergi dari sana sebelum Mas Lintang sadar bahwa aku tidur bersamanya. Namun wajah tampannya sayang sekali diabaikan, ya 'kan? Mubazir. Jadi aku masih diam di sana untuk beberapa saat menikmati pahatan makhluk Tuhan yang sempurna ini.

Ekspresi tidurnya polos sekali dengan bibir bawah sedikit maju.

Sentil jangan, nih? Wkwk.

Oke, saatnya bangun, tapi hidung mancungnya gemes banget nggak sih? Ukurannya berapa senti, ya? Aku mengukurnya dengan jari telunjukku, dan aku baru sadar jika diukur begitu hidungnya terlihat lebih mancung. Gila, gila.

Dut.

Jancoook. Tanganku yang lain tak sengaja menyenggol lenganku yang sedang terangkat untuk mengukur hidungnya, akibatnya tanganku menusuk pipinya.

Dia terusik dan bergerak tanpa sadar mendekat ke arahku.

Dugun-dugun hati ini ketika aroma tubuhnya tak sengaja kuhirup.

Baik, jangan melewati batas. Sudah cukup, Bum. Kau harus menjauh.

Bertepatan dengan itu aku mendengar brankar berdecit, diikuti suara Alina.

"Papa," katanya.

Aku bergerak perlahan turun dari ranjang, lalu berjalan ke arah Alina.

"Kenapa? Butuh sesuatu?" tanyaku yang membuatnya mengangguk.

"Haus, Kak," katanya sembari memegang tenggorokannya.

Aku mengangguk lalu mengambil air mineral dan memberikan padanya.

Dia berterima kasih dengan sopan.

"Ada lagi?"

Dia mengangguk. "Bisa temenin aku sebentar? Aku takut."

Aku mengangguk. "Kakak tidur di sini aja, ya? Nggak papa?"

Dia mengangguk lalu memberikan space untukku.

Aku menaiki brankar dan mengambil posisi nyaman sebelum akhirnya menyuruh Alina untuk tidur dalam pelukanku.

"Mau cerita sebentar?" tawarku meski sebenarnya mata ini sudah tertutup setengah. Dia mengangguk.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang