08. Lah? Aku Nggak Papa?

4.8K 296 7
                                    

Saat Mas Lintang keluar, dia mengabarkan bahwa Alina sudah dipindahkan ke rawat inap. Penyebab anak itu dalam kondisi tersebut karena tanpa sepengetahuan Mas Lintang, Sus Emy memperbolehkan Alina memakan lolipopnya. Sus Emy merupakan orang pedalaman yang amat buram dalam pengetahuan penyakit tersebut. Jadi, beliau mentoleransi gula yang dimakan Alina dengan pedoman tetua: sekali-kali nggak papa.

Sulit jika sudah begitu, mau dimarahi Sus Emy buta dalam pengetahuan penyakit diabetes, tetapi tak bisa dibiarkan begitu saja karena taruhan dari gula tersebut adalah nyawa Alina.

Di ruangan satu brankar pasien itu, ada aku, Latan dan Mas Lintang.

Aku dan Latan duduk bersebelahan di sofa, sedangkan Mas Lintang terus memandang Alina yang masih belum bangun dari tidurnya.

Tiba-tiba Mas Lintang berdiri tegak setelah sebelumnya menghela napas. Dia menoleh ke arah aku dan Latan.

"Latan, sini!" panggilnya tegas pada adiknya.

Aku melirik ke arah Latan sekilas, dia terlihat berdiri dengan wajah sedikit takut menghadapi kakaknya yang dalam mode sangar.

Mas Lintang melipat tangannya ke belakang tubuhnya. "Ke mana tadi?" tanyanya dengan nada tegas.

Latan terlihat menundukkan kepalanya. "Ke kampus Mas."

"Kenapa nggak telepon Mas?"

"Niatnya cuma bentar."

Mas Lintang menghela napas berat. "Ke kampus, di pagi buta bahkan Langit belum berangkat kerja dan dalam posisi kamu sudah mahasiswa akhir, apakah Mas boleh curiga Latan? Waktu kamu semester sebelumnya aja berangkat di atas jam delapan."

Latan diam tak menjawab.

"Mas hanya minta satu bulan sampai Mas selesai di rumah sakit ini. Nggak bisa?"

Latan masih diam menunduk. Mungkin dia merasa bersalah. Aku tak kasihan melihatnya dimarahi begitu, malah aku ingin ada adegan tampar-tamparan di sana. Haha.

Kalian tahu, aku menemukan bekas lipstik di leher mantanku itu meski samar. Itu yang tadi membuatku tersadar dan tak terkurung dalam kubangan kelakuan ngalus dari mantan.

Hah! Bisa-bisanya dia begitu. Hajar saja Mas Lintang. Jangan kasih kendor si banjingan itu. Keponakannya lagi sakit begitu, dia malah skidipapap. Ckckck tak habis pikir. Otaknya di dengkul keknya.

Mas Lintang terlihat menghela napas lagi. Tangannya membetulkan jas kebanggaannya sebelum akhirnya pergi dari ruangan itu tanpa berkata apa pun. Latan kembali ke sampingku. Dia tak berkata apa pun juga. Hanya duduk dengan menyandar pada punggung sofa dan memejamkan mata.

Melihat itu, aku segera bangkit. Tak ingin mengganggunya. Aku lebih memilih menyingkir ke arah brankar Alina berada. Duduk di kursi samping sembari memandang wajah cantik yang terlihat tenang dalam tidurnya.

Aku anak terakhir. Otomatis tak memiliki adik. Sejak kehadiran Alina empat tahun lalu, dia sudah kuanggap sebagai adikku. Senyumnya yang selalu terpampang setiap dia menyambut orang-orang memberikan energi positif pada setiap yang melihatnya. Itu sebabnya aku selalu suka bertemu dengan anak ini.

Namun di balik keceriaannya, Tuhan memberikan suatu keistimewaan. Yakni penyakitnya. Aku tadi sempat men-searching tentang penyakit Alina. Meski itu hanya setitik ilmu yang tak tahu benar tidaknya. Namun dari yang kubaca, penyakit diabetes tiada habisnya dan tiada akhirnya. Itu artinya, penyakit itu akan selalu berada di tubuh Alina sampai anak kecil itu menghembuskan napas terakhirnya.

Mataku berkaca-kaca mengingat itu. Semoga saja yang kubaca itu artikel hoax.

Aku mengelus pipinya yang mulus seperti pantat bayi. Warna kemerahan tampak di dua pipi empuk itu. Sangat kontras dengan kulitnya yang cerah.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang