Aku terbangun saat alarm di ponselku menyala. Mas Langit yang tidur di sampingku menepuk bahuku dan menyuruhku untuk mematikan alarm itu karena mengganggu tidurnya.
Aku meraba-raba kasur karena ruangan itu sangat gelap sehingga mataku tak bisa menangkap bayangan apa pun.
Setelah menemukan benda gepeng itu, aku segera mematikan alarmnya, membuka gorden sedikit agar kamar itu tak terlalu gelap tetapi juga tak mengganggu Mas Langit, dan setelahnya baru aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena jam menunjukkan pukul jam setangah lima pagi.
Setelah selesai, aku keluar kamar mandi menggunakan pakaian yang diberikan Mbak Berlin semalam sebelum tidur. Baju polos yang tak glamor tetapi sangat terlihat aura mahalnya. Aku terlihat elegan dan lebih dewasa.
"Mas, ke rumah sakit jam berapa?" tanyaku sembari menggoncang tubuh kakak tersayangku itu.
Dia menggelengkan tangannya tanpa repot-repot membuka kelopak matanya.
"Nggak kerja? Libur?" tanyaku yang mendapat acungan jempol darinya.
Aku mengangguk dan tak mengganggunya lagi.
Kulangkahkan kaki keluar untuk mencari penghuni rumah itu yang sudah bangun. Namun suasana begitu sepi, tak ada orang sama sekali di tempat semalam kami berkumpul.
Aku terus berjalan, hingga menemukan sebuah ruang fitness. Tersedia berbagai alat di sana, sangat lengkap, sudah seperti tempat gym di sana. Eh, memang tempat gym sih. Wkwk.
Aku masuk ke sana, bukan aku tak sopan, kemarin sebelum tahu akan menginap, Mbak Berlin sudah mempersilakanku memakai tempat itu sesukaku. Aku menolaknya, ya untuk apa, aku ke sana cuma bertamu.
Ruangan itu juga sepi. Tak ada seorang pun. Jadi aku mencoba segala macam alat di sana meskipun aku tak tahu bagaimana cara memakai alat itu dengan benar. Wkwkw. Maklum kaum-kaum malas olahraga.
"Kalau mau tricep extension, tubuh kamu harus tegap, punggung jangan mengikuti tempo tangan."
Aku menoleh ketika mendengar seseorang berbicara dari arah belakang.
Tebak siapa?
Iya betul, dia Mas Lintang yang datang dengan beberapa lembar roti bakar lengkap dengan selainya, serta jus jeruk.
Tak hanya itu, dia juga datang dengan ketampanannya. Awokwok.
"Alina masih tidur, Mas?" tanyaku.
Dia mengangguk, lalu mendekat ke arahku.
"Izin, ya, Mbak Bumi," ujarnya meminta izin sebelum menyentuh tanganku untuk membimbingku untuk melakukan gerakan yang sempurna.
Aku tak fokus, benar-benar tak fokus dengan ketampanannya. Munduran dikit dong, Mas, cakepnya keterlaluan. Jantung ini juga nggak bisa diajak kompromi, detaknya cepet banget kek mau meledak. Kan otakku malah bikin sinyal ke tubuhku untuk mengeluarkan ekspresi canggung. Apalagi ketika tangannya bersentuhan dengan kulitku, aku rasanya seperti tersetrum.
Gila, gila, aku beneran udah jatuh cinta sama duda satu ini keknya.
"Capek juga, ya. Padahal cuma satu alat doang," ujarku yang terlihat sangat engap padahal hanya menggunakan dua barbel kecil.
Mas Lintang terkekeh. "Belum terbiasa, nanti kalo sudah biasa tiga set kayak kurang."
Aku mengangguk-mengangguk, lalu dia mengulurkan sebotol mineral yang memang disiapkan di ruangan itu.
"Kalo di rumah, nge-gymnya ke mana Mas? Ke gym yang deket cafe itu atau ada tempat lain?"
Sapa tahu kan yak bisa modus tipis-tipis di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...