Rumah Mas Lintang semakin ramai ketika Mas Langit dan Pak Galuh menyusul ke sana karena kebetulan sama-sama sedang libur kerja. Rencana akan pulang siang hari, tetapi sampai pukul sepuluh malam itu mereka masih mengobrol santai di ruang keluarga.
Sosok Pak Galuh 180 derajat berbeda dengan yang kukenal di kampus. Dia sedikit tengil dan suka mengeluarkan lelucon receh. Aku selalu speechless ketika melihat dia dengan berbagai ekspresi ketika berkumpul dengan teman-temannya. Di kampus dia seperti kanebo kering dan menjaga image-nya sebagai calon mantu Bapak Komisaris Pertamina. Ternyata, eh, ternyata aslinya ya bobrok juga.
Turun sudah wibawanya.
"Ini si Bumi ke mana-mana kayaknya sama Lintang mulu."
Dih, ke mana-mana apanya. Sok tahu. Orang cuma dua kali yang Bapak tahu, sekarang dan yang di rumah sakit.
"Ngintilin Lintang emang dia," celetuk Mas Langit.
We tonjok juga kalian bedua, ya!
Emang berani?
Ya .... enggak lah! Sanguku bisa kepotong terus skripsiku bisa dicuekin!
"Berisik, Alina entar bangun," ujarku.
Alina sedari tadi memang bermain tiada henti hingga akhirnya tenaganya habis dan tidur di pangkuanku.
"Si Alina sekarang Mas lihat-lihat nempel banget sama kamu."
Aku mengedikkan bahu mendengar ucapan Mas Langit.
Aku juga heran apa yang membuatnya nyaman dekat-dekat denganku. Padahal aku garang loh seperti Dilan Cepmek, wrawrrrr. Mungkin karena aku bermain bersamanya hampir setiap hari, ya?
Atau karena dia tahu bahwa aku akan menjadi mama tirinya di masa depan. Uhhuk. Bercanda gess, jangan terlalu dibawa serius.
"Pindahin sana," ujar Mas Langit antara kasihan padaku memangku Alina sedari tadi atau kasihan pada Alina yang tidur dengan posisi itu.
"Nggak tahu, takut kebangun. Mas Langit aja nih."
Dia menjauhkan diri. "Mas juga nggak tahu, takut kebangun juga. Kamu tuh belajar, udah mau jadi ibunya juga."
Aku memelototinya. Sekalian aja siaran ke dunia, ya, Mas.
"Mas tuh, nikah sana, udah tua juga."
Dia pura-pura tak mendengar ucapanku.
Weleh weleh.
"Si Lintang ambil nasi goreng ke bawah kayak ambil di negara lain, lama amat," gerutu Pak Galuh.
Aku juga menggerutu padanya. Mas Lintang sudah berbaik hati memesankan makanan, membayarnya, dan mengambilnya di bawah, eh Pak Galuh bisah-bisanya masih mengomentari Mas Lintang. Kok bisa-bisanya gitu loh. Oh, mungkin dia hidup tanpa mengantre. Dasar orang kaya.
Tak berapa lama, Mas Lintang yang super duper ganteng itu datang dengan sebungkus makanan dan sebungkus minuman.
Aku masih tak berhenti heran, di rumah itu makanan disediakan lengkap, rendang gule dan kawan-kawan, eh ini malah milih beli nasi goreng kaki lima di pertigaan.
Dasar orang kaya.
Setelah memberikan nasi goreng kepada pemesannya, Mas Lintang menghampiriku dan memindahkan anaknya. Aku membuntuti pria itu kalau-kalau butuh bantuanku karena kedua tangannya menggendong anaknya.
Benar saja, pintu kamar Alina terkunci. Mas Lintang kesusahan membukanya. Untung ada aku si pahlawan kemaleman.
Mas Lintang masuk dan meletakkan Alina di kasur pinky-pinky-nya.
"Mbak Bumi, maaf jadi merepotkan sekali. Terima kasih seharian ini mau menemani Alina bermain," ujarnya ketika kami berjalan bersama-sama keluar dari kamar anaknya.
Aku mengangguk. "Nggak papa, Mas. Saya juga seneng main sama Alina."
"Soal tadi Mama dan Mbak Berlin, saya juga minta maaf kalau buat Mbak Bumi nggak nyaman."
Nggak kok Mas, nyaman bangeeeet. Soalnya lampu hijau wkwkwk.
Setibanya di ruang keluarga, di sana kembali ramai oleh mama Mas Lintang dan Mbak Berlin yang baru datang setelah tadi sore pamit untuk pergi ke rumah temannya.
Kami mengobrol lama tentang banyak hal. Tentang Mas Lintang muda, tentang papa Mas Lintang yang ternyata satu circle dengan ayah Pak Galuh dulu saat SMP, lalu masa-masa di mana Mas Langit sering menginap di sana saat sedang menempuh pendidikan dokter.
"Langit dulu sering banget ke sini, eh, sekarang setelah punya rumah sendiri udah lupa sama Tante."
Mas Langit tertawa. "Nggak gitu, Tan. Setelah Mama Papa nggak ada, nih bocil satu nggak ada yang jaga. Nakal, suka keluyuran kalo nggak dipantau."
Aku akan mendebatnya, tetapi dia segera menutup mulutku. "Udah nggak usah beralasan, emang iya itu kenyataannya."
Semuanya tertawa di tengah aku yang dibuli oleh kakakku, huhu. Tega kaliaaan!
Lalu obrolan terus berlanjut hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu malam.
Jika saja aku tak menguap dan Mas Lintang tak menyadari, mungkin percakapan itu tak akan usai meski matahari mulai muncul dati arah timur.
"Lang," ujar Mas Lintang sembari menunjukku yang matanya sudah setengah watt.
"Mau pulang sekarang?"
Yealeh kumis lele, pakek ditanya lagi. Engga, gue pulang bulan depan deh! Ya sekaranglah.
Tapi mana berani aku mengatai kakakku itu, jadinya aku mengangguk lembut nan anggun. Ratunya pencitraan emang, ya.
Mas Langit pun pamit pada mama Mas Lintang.
"Eh, mau ke mana. Nginep aja, nginep, banyak kamar kosong. Tante udah niat besok masak sama Bumi. Udah belanja segala macem loh, Tante."
Aduh, tepok jidat. Salahin aku deh yang mengiyakan ajakan memasak dari mama Mas Lintang. Niatnya memang sore tadi, tetapi mama Mas Lintang ada urusan ke rumah temannya hingga niat memasak kami urung.
"Anu Tante, nggak kapan-kapan aja Tante, saya juga nggak bawa baju ganti."
"Ah, gampang mah itu, Berlin ada banyak di rumah ini. Kalo nggak mau bisa beli dadakan juga."
Mbak Berlin mengangguk. "Nggak usah beli, baju baru yang belum sempet dipake juga banyak."
Alamak alasan apalagi ini?
Kebo? Ah iya, dia sendirian di rumah.
"Anjing saya nggak ada kasih makan, Tante."
Mas Langit dan Pak Galuh mulai cekikan melihatku yang mengeluarkan alasan-alasan agar bisa pulang.
"Mang Jupri bisa ke sana kasih makan anjingnya. Bisa diatur itu. Kalo rencana kita sulit diatur. Sebulan lagi baru bisa ketemu soalnya lusa saya harus ke Hongkong lagi.
Maunya sih mau, tapi ya gimana ya.
"Oke Tante, Bumi bisa kok menginap di sini. Anjing di rumah udah biasa ditinggal, nggak peduli juga dia sama babunya. Makanan dan minumannya bisa otomatis tiap waktunya kok, Tan."
Dipikir-pikir Mas Langit sekarang kok mulai nyebelin, ya? Tiap hari ada aja yang bikin aku pengen mites dia.
Akhirnya aku pun mengiyakan. Ya mau alasan apa lagi? Sudah habis stock alasanku. Mau tak mau ya mengikuti saja.
Sebenarnya bukan tak mau sih, hanya malu saja pada mama Mas Lintang. Ya gimana, ya, aku nggak bisa masak loh. Bukan nggak bisa sih, kurang ahli dalam hal memasak. Kalo besok gosong atau asin, mau ditaruh mana muka aku yang cantik super duper cantik ini?
Eh, tapi kalo enak, bisa juga nih buat melet Mas Lintang. Wakwaw.
Nanti mau pake adat apa, ya? Eh?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...