Setelah dari gereja tadi aku sudah berniat pulang, tetapi entah bagaimana ceritanya aku malah berada di mobil Mas Lintang yang sedang melaju menuju jalan rumah oramg tuanya.
Oh iya begini ceritanya mengapa aku bisa ikut Mas Lintang ke rumah ibunya. Tadi saat kami di gereja, Alina menelepon video call untuk mengabari Mas Lintang bahwa dia akan menginap semalam lagi di sana. Tak sengaja aku terlihat di video itu dan Mbak Berlin yang langsung mengenaliku segera meminta Mas Lintang membawaku ke sana.
Aku awalnya menolak. Ya kali buat apa gitu loh. Namun Mbak Berlin mengatakan dia ingin memberikan sesuatu sebagai bentuk rasa terima kasih perihal aku yang menggantikan mereka menjaga Alina di rumah sakit waktu itu saat terjebak tak bisa langsung terbang dari Hongkong karena badai.
Sebenarnya ini memang pernah terjadi sebelumnya, tetapi Mbak Berlin datang sendiri ke rumah bukan aku yang ke rumahnya.
Gini, gini, kalo aku datang ke rumah itu dengan Mas Lintang untuk bertemu keluarga Mas Lintang, itu bukannya kek aku dikenalin ke mereka nggak, sih? Wkwk.
Oke, oke, bilang saja aku kepedean. Intinya itu cerita bagaimana aku bisa di mobil Mas Lintang dengan tujuan rumahnya.
Perjalanan memakan waktu lebih lama karena macet. Iya, hari minggu jalan Jakarta bukannya lancar malah semakin padat.
Setelah tua di jalan, syukurnya kami sampai juga di rumahnya yang mewahnya sampai tercium bau dollarnya. Wkwkwk, bercanda.
Rumah Mas Lintang bertingkat tiga, potongannya sudah seperti istana. Ada taman, ada air mancur di tengah, ada jalan untuk berputarnya mobil. Jadi kalian kalau mampir ke sini dan belum lihai memutar mobil jangan khawatir deh.
Kami pun turun setelah Mas Lintang memarkirkan mobilnya.
Dia mengambil barang-barangnya sedangkan aku mengangumi rumahnya. Ini orang-orang bisa punya rumah kek gini itu uangnya dapet dari mana ya selain korupsi sama ngepet? Ups, becanda.
Keluarga Mas Lintang old money kok. Yang uangnya awet sampai tujuh turunan.
“Ayo masuk, mau di sini sampai kapan?” tanya Mas Lintang yang ternyata ikut menonton rumahnya seperti poseku.
Aku terkekeh. "Menerka-nerka budget untuk buat rumah kayak gini. Di masa depan aku pengen bangun yang kayak gini."
Kami berjalan bersama dengan langkah ringan masuk ke dalam rumahnya.
Mas Lintang terkekeh. "Menurut kamu berapa?"
"Tentu lebih dari tiga ratus milyar, aku sering denger temen-temenku yang arsitek komentari rumah-rumah orang di jalan."
Mas Lintang mengangguk-angguk. "Tapi rumah ini nggak dibangun sekaligus, tapi memang totalnya lebih dari itu."
Aku menganga meski sudah tahu jawabannya akan lebih dari 300 M.
"Lima ratus milyar?"
Mas Lintang hanya tertawa.
"Tujuh ratus?"
Dia menggeleng.
"Sembilan ratus?"
"Sama isinya," jawabnya yang membuatku membolakan mata.
"Keknya nggak jadi aku yang mau buat rumah kayak gini, Mas. Kalo sembilan ratus milyar kayaknya aku harus jadi pejabat dulu terus korupsi baru bisa bangun ini rumah. Kalo cuma pake jalan lurus kayaknya keturunanku ke delapan yang baru bisa bangun ini rumah."
Mas Lintang tertawa ringan sembari mengacak rambutku karena gemas.
Eh, eh, apa nih tiba-tiba nyentuh dedek emmesh ini. Kami pun berjalan beriringan. Aku tanpa sadar tersenyum tipis, kenapa rasanya sangat manis hanya karena kami berjalan beriringan? Apa karena tadi tangannya menyentuh kepalaku? Hingga aku jadi terpelet olehnya?
Perjalanan dari mobil ke dalam ternyata cukup panjang wkwk. Kami harus melewati ruang lebar di lantai satu lalu menaiki tangga di ujung untuk menuju ke lantai dua. Rumahnya sangat besar dan megah. Kalian main bulu tangkis dan basket di dalam juga bisa.
Wkwk. Mengakaki kemiskinan diri.
Sesampainya di lantai dua, sosok Mbak Berlin yang tengah bermain dengan Alina langsung terlihat dalam pandanganku. Sedanglan mama Mas Lintang berada di sofa sembari memainkan ponsel.
Alina yang pertama menyadari kedatangan kami. Dia berteriak dalan langsung berlari ke arah kami. Awalnya kukira dia akan memeluk papanya, eh mengejutkannya dia malah memelukku. Hal itu membuat mama Mas Lintang dan Mbak Berlin bingung dan saling pandang satu sama lain.
Aku tersenyum canggung lalu menggendong Alina dan berjalan ke arah dua wanita itu untuk menyapanya.
Mereka tersenyum girang melihat Alina dalam gendonganku. Entah maksudnya apa. Lalu keduanya menyambutku hangat hingga membuatku tak canggung berada di sana. Mereka mengeluarkan segala macam makanan. Aku terus mengatakan untuk tak repot-repot menyambutku. Setelah mengatakan itu bukannya berhenti mereka semakin gencar. Cokelat, tanghulu, cemilan khas timur, cemilan khas barat, semuanya ada di meja.
"Dihabisin ya, Bum," ujar Mbak Berlin yang duduk di sampingku.
Mas Lintang yang duduk di sofa seberang terkekeh mendengar ucapan Mbak Berlin.
Ya kali, makanan sebanyak itu mana bisa masuk ke perutku yang kecil ini.
Mama Mas Lintang lalu bercerita tentang Mas Langit yang dulu sering berkunjung ke sana dan menghabiskan banyak cemilan. Mereka mengira aku sama dengan Mas Langit. Aduuh ya beda atuh.
Tiba-tiba dari arah lift, Alina datang dengan seorang ART. Anak itu membawa sebuah toples yang berisikan cookies.
Dia terlihat antusia sampai berlari ke arahku. Mas Lintang memperingatinya agar tak berlari karena takut yang dipegangnya jatuh dan pecah mengenai tangannya. "Kakak, aku tadi buat kue loh sama Mbak Desi. Cobain," ujarnya dengan wajah berharap.
Dia menyuapiku.
Aku langsung bereaksi sesuai ekspektasi Alina meski kuenya terasa pahit karena sedikit gosong. Anak itu senang sekali sampai berjingkat-jingkat. Lalu dia pergi ke arah papanya untuk menyuapinya dengan kue kering buatannya.
“Enakkan, Kak?” tanya Alina kepada bapaknya.
Mas Lintang mengangguk lalu memuji keahlian masak Alina dan menyuruh anak itu untuk belajar lagi untuk meningkatkan skill-nya.
“Lihat deh, Ma. Cocok sekali kedua insan ini,” bisik Mbak Berlin pada mamanya yang terdengar oleh. Aku pura-pura tak mendengarnya meski jantung ini sudah loncat-loncat bahagia.
“Anaknya aja juga sudah menempel begitu,” ujar Mbak Berlin.
Sudah Mbak, sudah cukup. Nantu aku terlalu terbang sampai lupa menginjak bumi. Wkwkwk.
Tiba-tiba Mbak Berlin mengatakan sesuatu yang membuat Mas Lintang melotot.
katanya, “Alina mau mama, nggak?”
Waw, waw, waw.
Alina langsung mengangguk antusias. "MAUUU."
“Kalau mau, minta sama papamu sana,” ujar Mbak Berlin sembari cekikikan.
Mama Mas Lintang juga ikut cekikikan bersama anak perempuannya.
Aku dapat melihat wajah mas Lintang yang sangat terkejut sampai tak bisa berkata apa-apa.
"Bilang, Na, kamu mau mama yang kayak siapa? Kayak Kak Bumi?"
Kali ini Mas Lintang menegur Mbak Berlin.
Mbak Berlin tak mengindahkan. Lalu mamanya ikut-ikutan.
"Iya, Na. Minta yang kayak Kak Bumi."
Pengomporan itu membuat Alina merengek pada ayahnya seharian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...