02. Mundur Sebelum Bertempur?

9K 434 3
                                    

Pagi-pagi sekali alarm sudah menggangguku. Membangunkanku dari dunia halu penuh tipu-tipu.

Aish! Padahal aku sedang bermimpi indah menjadi pasangan romantis idolaku. Namun karena kakakku terus mengetok pintu, mau tak mau mimpiku bubar, tergantikan mood jelek di pagi buta itu.

Ya, alarmku itu Mas Langit. Arlangit Angkasa. Pria berumur 38 tahun yang lahir sebagai satu-satunya saudaraku. Kami hidup berdua di Ibu Kota ini karena orang tua kami memiliki dunianya sendiri di bawah tanah.

Setiap pagi, aku tak perlu repot-repot menatap jam dinding untuk mengetahui pukul berapa aku terbangun, karena jika pintu diketuk—alias digedor, itu pertanda jam menunjukkan pukul lima dini hari.

Aku melambaikan tangan pertanda penghuni kamar itu jiwanya telah kembali.

Gedoran di pintu berhenti, membuatku menghela napas lega. Sedetik kemudian aku kembali pulas, menuju mimpi indah yang belum tertuntaskan. Tidur paling nikmat memang yang sebentar tetapi tak terasa. Namun menurutku, tidur paling nikmat ketika biasku sudi mampir dalam dunia halu yang mana aku adalah pemeran utamanya.

"Nggak bangun semenit lagi, hari ini kamu nggak dapet uang saku!"

Suara bas penuh peringatan itu sukses membuat jiwaku yang melayang-layang dalam kubang kehaluan tiba-tiba ditarik paksa pada realita. Mataku terbuka lebar, sangat lebar. Jika ada kaca di sana, mungkin sudah pecah akibat cembungan bola mata yang seolah akan mencuat dari tempatnya.

Tidak! Aku sedang butuh skincare!

Seketika, aku berdiri tegak tanpa melalui lamun pendek kebiasaanku setelah bangun tidur untuk memanggil jiwa yang masih belum sepenuhnya masuk dalam raga. Aku benar-benar langsung berdiri tegak setelah tidur terbalut selimut tebal. Sempat sempoyongan, tetapi untung saja Mas Langit segera menangkap lenganku.

Kulihat parasnya yang tampan rupawan pada pagi itu. Wajah segar tanpa sedikit pun kerutan. Rambut hitam legam yang ditutupi topi dan setelan olahraga yang membalut tubuhnya.

Tunggu, olahraga?

"Ini hari minggu?"

Mas Langit di ambang pintu yang dengan sabar menungguiku sampai sadar, mengangguk sembari menatap jam tangannya.

Selain menjadi alarm, Mas Langit ini kujadikan penanda hari juga. Jika bangun tidur kutemui dia memakai baju olahraga seperti sekarang, berarti hari ini Minggu. Mempermudah aku sekali Mas Langit ini. Aku tak perlu repot-repot menghidupkan ponsel hanya untuk melihat dua hal itu di pagi buta.

"Aku off dulu hari ini, Mas. Mau tidur seharian soalnya kemarin abis kebut-kebutan revisi skripsi." Aku berkata sembari berjalan bak vampir kembali ke tempat tidur.

"Oke, padahal ditunggu Lintang dan Selatan di bawah."

Tunggu! Apa katanya? Mas Lintang ikut?

Aku segera berbalik ke arah Mas Langit yang sudah akan meninggalkan lantai kamarku. "Aku ikut!" ucapku, membuat Mas Langit terjengkit kaget dan segera berbalik ke arahku. "Ya ampun, Dek, biasa aja. Ini pagi-pagi, intonasi suaranya dikurangi," katanya sembari mengelus dada bidangnya.

Aku hanya terkekeh mendengar ocehan pendek Mas Langit. "Tunggu aku, ya. Mau mandi bentar," ujarku sembari berlari ke arah kamar mandi berada.

"Jangan mandi, entar juga keringetan. Cuci muka aja, Dek."

Tak bisa, mau bertemu mangsa harus tampil rapi dulu. Biar tergaet.

Aku yang sudah masuk, menyembulkan kepala untuk menatap Mas Langit. "Katanya harus selalu jaga kebersihan?" tanyaku.

Daripada pertanyaan, ucapanku itu lebih pada ejekan karena nada yang kuucapkan menjiplak bagaimana Mas Langit biasa mengingatkanku tiap harinya karena aku sedikit pelasuh. Sengaja aku memilih kata itu, agar sebagian orang tak langsung mengerti artinya sehingga keburukanku masih sedikit bisa tertutupi. Aku wanita rapi dan elegan, kok. Jangan khawatir.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang