37. Ternyata Cemburu

4.9K 270 15
                                    

Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah Tante Riana untuk menjemput Alina yang kemarin menginap semalam di sana.

Sebenarnya Mas Lintang yang akan menjemputnya, tetapi kukatakan biar aku saja. Aku mau berbaikan dengannya meski aku sendiri tak tahu letak kesalahanku di mana.

Aku mengetuk pintu dan Tante Riana yang membukakannya. Beliau mengajakku masuk dulu karena Alina sedang berkemas.

"Ini kue-kue di bawa pulang ya, Bum. Buat cemilan kalo lagi senggang," ujarnya sembari memberikanku seplastik besar kue kering dan jajanan khas luar negeri.

Perubahan sifat Tante Riana juga sangat terlihat setelah kemarin beliau tahu ada yang spesial di antara aku dan Mas Lintang.

Sebenarnya tak hanya kue-kue yang akan dia berikan padaku, ada baju, sepatu dan lainnya. Bahkan sepertinya dia ingin memberikan seisi rumahnya padaku, tetapi kutolak semua karena aku sangat sungkan kepada Tante Riana.

Ya sebenernya mau sih nerima barang bermerek.

Aduduuuuh rejeki mana bisa ditolak.

Tapi aku tak akan serakah lah.

Aku berterima kasih pada Tante Riana setelah menerima kue itu. Tak berapa lama Alina datang dari lantai atas dengan suasana hati yang girang. Dia bahkan berjalan sembari bernyanyi-nyanyi dengan Mbak Berlin yang menuntunnya turun.

Lalu ketika matanya menangkap keberadaanku, senyum lebarnya pudar.

"Bukan Papa yang jemput?" tanyanya pada Mbak Berlin. Padahal dia bisa saja bertanya padaku, huhuu.

Alinaku yang dulu ke manaaaaaa?

Ini pasti ulah si Setan 'kan? Dia bisikin apa sih ke Alina!

Akhhh awas lo, Tan! Gue bejek juga lo.

Aku mendekatinya. "Papa ada operasi di rumah sakit, jadi sekarang Kakak yang jemput kamu, nggak papa ya?" ujarku yang sangat berharap ada respon positif dari Alina.

Dia hanya mengangguk lemas, lalu kami pun meninggalkan rumah bak istana itu dengan perasaan lesu yang sangat kentara dari Alina.

Selama di mobil, aku berusaha mencairkan suasana yang begitu cool itu. Brrrr serasa di kutub utara bok.

"Ada hal seru apa nih di rumah Nenek?" tanyaku.

Beberapa waktu lalu dia pasti akan menceritakan segalanya dengan raut wajah bahagia. Namun sekarang ....

"Nggak ada, Kak."

Dia hanya menjawab seadanya. Namun salutnya dia masih menjawabku.

Sabar, sabar. Bumi pasti bisa kok! Bapaknya aja yang punya tembok tinggi bisa digaet.

Semangat! Bismillah.

Eh, bismillahnya katolik apa, ya?

Skip, kembali ke laptop.

"Nggak masak-masak bareng Mbak Berlin?"

Dia menggeleng.

"Kemarin baca buku nggak di rumah Nenek?"

Dia menggeleng lagi. Kali ini dia memalingkan wajahnya dan melihat mobil-mobil di sampingnya.

Fyuuh, cape juga ya dikasih respon acuh tak acuh.

Suasana bener-bener hening dan senyap, membuat otakku kosong.

Ini gimanaaaaa. Masa selama sisa perjalanan gini meluluk.

Tak papa, tak papa. Aku kau cueki tak papa, dikasih wajah jutek dan masam pun tak papa.

Orang cantik sepertiku memang harus sabar biar lulus kriteria mama idaman.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang