46. Jaka Sembung-Jaka Sembung

3.8K 223 2
                                    

Ketika semua orang sudah pergi, aku dan Mas Lintang masih di sana karena pacarku itu sedang membimbing para dokter muda lewat layar laptopnya. Hingga siang hari, barulah kami bersiap untuk pergi.

Mas Lintang tiba-tiba mengajakku berbelanja karena setengah hari ini dia tak ada pekerjaan.

"Ngapain? Yang kemarin aja belum aku pake," ujarku menolaknya.

Sebenarnya sih aku mau-mau saja, ya kali ga mau, tapi rasanya seperti menghambur-hamburkan uang padahal kemarin setelah dari rumah sakit aku juga belanja begitu banyak. Tas, baju, skincare yang bahkan belum aku unboxing karena acara ulang tahun Alina.

Iya, tahu dia kaya, tapi jiwa miskin iritku ini tak tega melihat uang yang seharusnya bisa digunakan sebulan untuk makan dan lain-lain malah digunakannya secara cuma-cuma.

"Nggak papa belanja lagi, Mas suka lihat kamu bahagia," ujarnya saat kami sedang berjalan menuju pintu rumahnya.

Aku menghadang langkahnya yang membuatnya berhenti dan menaikkan kedua alisnya.

"Mau lihat aku bahagia nggak?" ujarku dengan ekspresi wajah yang sangat dia hapal maksudnya.

Dia tertawa lalu menggendongku seperti sedang menggendong Alina.

"Di sini sepi, bahaya," katanya lalu berjalan keluar rumah menuju mobilnya terparkir, tentu dengan aku yang masih dalam gendongannya.

Jadi gini rasanya pacaran ama yang lebih tua. Diemong, dimanja, disayang banget cuyyyy kek anak sendiri.

Mas Lintang sudah menurunkanku di jok penumpang, tetapi aku langsung loncat ke jok kemudi yang membuat Mas Lintang mengerutkan keningnya heran.

"Tadi tidurnya bentar doang. Biar safety. Kali ini biar aku yang nyetir," ujarku.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum akhirnya menuruti kemauanku.

Kami pun meninggalkan area rumah Mas Lintang menuju mall terdekat.

Di perjalanan Mas Langit ternyata meneleponku yang dijawab oleh Mas Lintang karena aku sedang menyetir.

"Napa, Lang?" tanya Mas Lintang.

"Perasaan gua nelpon adek gua dah, napa tetangga yang jawab."

"Dia nginep di rumah ortu gua kalo lu lupa."

Mas Langit terdengar berdecak. "Bucin melulu lu pada. Alay."

Aku memutar bola mataku karena masku itu mulai iri dengan perkembangan hubunganku dengan Mas Lintang.

"Kenapa, Mas?" tanyaku yang ingin dia langsung to the point alasan meneleponku.

"Tadi mau ngabarin takutnya kamu khawatir atau nunggu Mas ga pulang ampe besok, tapi kayaknya ga perlu ya. Pasti nggak inget juga kalo aku ga pulang soalnya dah ada cemimiwnya," katanya yang membuatku terkekeh.

"Ngambek masa?"

"Hooh, mas dijadiin yang kedua, padahal kamu selalu yang utama bagi Mas."

"Dah tua ga baek ngambekan, nggak usah kek remaja alay. Mbak Dania tuh cepet nikahin biar Mas Langit nggak iri terus lihat aku sama Mas Lintang," ujarku.

"Jaka sembung jaka sembung, nggak nyambuuung. Orang bahas apa tiba-tiba ke nikah," ujarnya.

"Lagian buru-buru banget mau ke mana?" tambahnya.

"Ya takut dilangkahi adiknya," ujarku yang membuat Mas Langit tiba-tiba berkata, "Tang, jangan macem-macem ya, adek gue masih kecil. Jangan lu cuci otaknya perihal umur lu yang tua bangka dan siap banget nikah itu. Gue juga belum bilang setuju lu ama si Bumi."

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang