Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah yang tak sampai dua puluh langkah dari rumahku. Meninggalkan Mas Langit yang sibuk mengunci rumah dan menghidupkan mobilnya.
Saat memasuki gerbang hitam tinggi itu, terlihat Sus Emy juga berlari dari dalam dengan Alina di gendongannya. Tangan kiri dan kanannya penuh dengan barang kebutuhan Alina. Wajah wanita paruh baya itu sangat terlihat kacau. Bahkan matanya sudah mengeluarkan air mata.
"Biar saya, Sus," ujarku sembari memindahkan Alina dari pelukannya menuju pelukanku. Suhu tubuhnya yang hangat langsung bisa kurasakan.
"Neng Bumi, sampaikan permintaan maaf saya pada Bapak. Maaf saya tidak bisa mengantar sampai rumah sakit karena anak saya kecelakaan," ujar Sus Emy dengan wajah benar-benar menyesal.
Aku mengangguk. "Saya dan Mas Langit saja yang antar, Sus. Sus cepet kunci rumah aja."
Setelah mengucapkan itu, aku segera berbalik menuju mobil Mas Langit yang sudah keluar dari rumah.
"Mas, tolong ambilin barang-barang Alina di Sus Emy," ujarku saat sudah dekat dengan Mas Langit yang baru saja keluar dati mobil dan ingin mengambil alih Alina.
Masku itu mengangguk lalu berjalan cepat ke arah Sus Emy yang tengah mengunci pintu rumah Mas Lintang.
Aku langsung memasuki mobil dan menenangkan Alina yang terus mengaduh mengatakan mual dan ingin muntah. Dia tak menangis, tapi matanya sayu seolah baru saja bangun tidur.
Aku berusaha tenang meski rasanya ingin menangis sejadi-jadinya melihat anak kecil yang selalu ceria di mana pun dia berada itu, sekarang berada dalam kondisi lemah. Ini pertama kali selama aku mengenal Alina, melihat anak kecil dengan mata cantik itu terlihat tak bertenaga sama sekali ketika bertemu denganku. Bahkan saat diinfus karena demam tinggi tiga bulan lalu, anak itu menyambutku antusias ketika tahu aku mengunjunginya.
"Kak Bumi, aku sakit," katanya dengan suara lemah yang terbata.
Aku tersenyum tipis dan mengangguk. "Bentar lagi ketemu Papa, ya. Alina pasti sehat lagi," kataku yang membuat kepalanya mengangguk meski samar.
Mas Langit masuk dengan cepat setelah mengambil barang Alina. Tanpa berkata lagi, dia melajukan mobilnya dengan kecepatan standar karena kami masih berada di area kompleks.
Sembari menyetir, Mas Langit mendengar arahan dari Mas Lintang dari earphone yang tersambung dengan panggilan dari papa Alina itu.
"Bum, buka tas kecil itu cari alat yang bentuknya kaya hp gitu," ujar Mas Langit yang langsung kulakukan.
Tak perlu lama untuk mencari alat yang dikatakan Mas Langit. Aku menunjukkan padanya. Dia mengangguk.
"Itu alat sensor cek gula darah. Tap ke alat yang ada di tangan kanan Alina," katanya lagi.
Aku langsung membuka mencari alat di lengan Alina. Benar saja di lengan kanan anak mungil itu ada alat bundar yang menancap di sana. Aku langsung men-tap-kan alat di tanganku ke alat yang terpasang di tangan Alina. Setelahnya terdengar bunyi tut yang menyalakan layarnya.
"Empat ratus sembilan delapan, Mas," ujarku yang tak mengerti itu angka tinggi atau rendah.
"Empat sembilan delapan, Tang. Tinggi," ujar Mas Langit yang membuatku menoleh.
Waw, tinggi.
"Suntik? Di mana? Dosisnya berapa?" tanya Mas Langit lagi pada Mas Lintang di seberang.
Mas Langit mengangguk setelah mendengar arahan dari Mas Lintang.
Setelahnya dia menyuruhku lagi. Mencari sebuah alat yang katanya bernama insulin. Warna alatnya orange dan bentuk seperti spidol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...