Aku pamit pada Mas Lintang untuk pergi ke dapur karena akan memasak bersama Mbak Berlin dan mamanya.
Mas Lintang mengacungkan jempolnya karena dia sedang meneguk mineralnya.
"Yang enak, ya," katanya setelah menjauhkan botol dari bibirnya.
"Ya pasti itu," ujarku dengan sangat percaya diri. Dia terkekeh dan mengacak poniku.
Kurang ajar, bikin jantung repot aja soalnya ini dag dig dug lebih ekstra mulu.
Eh, tapi nggak papa sih, aku ikhlas direpotin orang ganteng tiap hari. Wkwk.
"Kenapa? Ada sesuatu di wajah saya?" tanyanya karena aku tak kunjung beranjak dari tempatku dan terus menatap wajahnya.
Aku mengangguk serius. "Ada Mas."
Dia meraba wajahnya. "Sisa roti? Atau apa?"
"Ketampanan," ujarku singkat sebelum akhirnya berlari pergi dari sana.
Dia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku itu.
Tawanya renyah dan candu didengar, jadi aku menoleh. Namun tanpa sadar ....
Brakk! Tubuhku menabrak dinding yang ada tepat di samping pintu keluar.
Jancoook! Isin coook!
Tahu apa yang lebih malu? Mbak Berlin ternyata melihat semuanya.
Kurang lengkap apa aku mempermalukan diri.
Aku mengaduh hingga membuat Mas Lintang bangkit dari duduknya dan segera menghampiriku. Begitu juga Mbak Berlin.
Aku menutup wajah meski hanya dahiku yang terbentur dinding. Bukan sakit, tapi malu coooyy.
"Nggak papa, Bum? Perlu ke rumah sakit?" katanya panik.
Aku menggeleng sembari tertawa. "Nggak papa, Mbak. Nggak sakit kok," ujarku yang tak dipercayai olehnya.
"Bawa ke rumah sakit aja, Tang. Takut kenapa-napa."
Mas Lintang sudah mengangguk dan siap menuntunku pergi dari sana.
Aku segera menurunkam tangan dari wajahku. "Beneran nggak papa, Mbak. Nggak sakit, cuma malu aja grasak-grusuk di rumah orang," ujarku dengan ekspresi wajah memerah menahan malu.
Mas Lintang dan Mbak Berlin berpandangan sebentar sebelum akhirnya terkekeh geli oleh tingkahku.
Ya Tuhan, malunya dua kali lipat coooyyy.
"Jadi masak, Mbak?" tanyaku pada Mbak Berlin untuk menghentikan suasana memalukan itu.
Mbak Berlin mengerti situasi, akhirnya dia mengangguk dan segera membawaku ke dapur meski dengan tawa yang masih tersisa di ujung bibirnya.
Sudahlah, sudah terjadi, mau bagaimana lagi?
Ya tapi kalo diinget masih malu cooooy. Bumi bodooooh!
Okey, lupakan. Fokus pada yang ada aja.
Saat telah sampai di dapur, aku terpana dengan ruangan besar yang Mbak Berlin sebut sebagai dapur itu. Dapur apa yang semewah dan selengkap ini? Luasnya bahkan lebih besar tiga kali lipa, ah tidak, mungkin empat kali lipat dari kamarku.
Semuanya berlapis granit, termasuk lantai dan tempat kompornya. Hanya dinding yang tak berlapis batu alam itu.
Kinclooong bok, mana tega mengotorinya?
Semua peralatan masaknya lengkap. Pisaunya ada sepuluh dengan ukuran dan kegunaan yang berbeda tentunya. Tak hanya itu, sutil dan wajannya juga sangat banyak dan beragam. Aduh aduh pusing menghitung kekayaan orang di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...