Sore itu aku mengintip ke jendela melihat halaman depan tetanggaku, berharap mobil pemiliknya sudah terparkir di sana. Ini kulakukan hampir setiap hari hanya untuk melihat sosoknya yang keluar dari mobil dengan tampan meski tampilannya berantakan.
Yang kubicarakan tentu adalah Mas Lintang.
Aku belum menemukan alasan yang tepat untuk mampir ke rumahnya. Aku juga tak memiliki nyali untuk menatap wajahnya lagi karena perasaanku benar-benar seratus persen sudah berubah menjadi cinta. Hanya mengintip dari jendela saja aku sudah berdebar-debar tak jelas. Aku takut saat bertemu dengannya aku akan pingsan ketika melihat kegantengannya.
Kuputuskan untuk bersantai di balkon kamar menikmati angin di sore hari sembari menunggu kepulangan kekasih hati. Ceilah.
Kusebar pandangan ke arah jalanan untuk melihat orang-orang di bawah dan tentu saja aku memperhatikan satu rumah di mana rumah itu terlihat begitu istimewa di mataku, padahal realitanya semua bangunan sederet di sana tampak seragam.
Memang kalau sudah cinta, apa-apa terlihat indah dan istimewa.
Aku memeriksa jam, biasanya di waktu-waktu seperti sekarang ini mobil Mas Lintang akan memasuki jalanan kompleks. Namun lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, mobilnya tak kunjung terlihat. Kuyakini dia sedang ada jadwal operasi. Biasanya memang begitu.
Omong-omong tentang profesinya, aku belum tahu keputusannya tentang percakapan kami waktu itu. Apakah dia akan tetap menjadi malaikat penyembuh seperti keinginan anaknya, atau berhenti dan mengikuti keinginan hatinya. Namun kulihat jadwal kerjanya sama seperti sebelum-sebelumnya. Tak berubah padahal sudah lebih dari sebulan sejak Mas Langit mengatakan bahwa Mas Lintang akan berhenti menjadi dokter.
Aku menghela napas. Susah memang memilih di antara keduanya. Sudahlah aku tak ikut-ikut perihal itu.
Kufokuskan pandanganku ke halaman rumah Mas Lintang, terlihat Alina dan Sus Emy bermain asyik sekali.
Aku pun memutuskan untuk menghampiri mereka karena begitu bosan hanya duduk di balkon.
"Halloww, Alina. Lagi mainan apa, nih?" sapaku yang membuat Alina dan pengasuhnya menengok bersamaan.
Seperti biasanya, anak itu begitu girang melihat sosokku. Dia langsung memperlihatkan mainan lego balok yang sudah disulap bentuknya menjadi kelinci.
Aku mengambil mainan itu, melihatnya dari dekat dan memastikan itu memang rakitan Alina, bukan hasil pabrik.
Dan ... marvelous, anak itu benar-benar merakitnya sendiri. Ini gimana ceritanya balok kotak-kotak bisa jadi kelinci imut begini, bener-benar seperti karakter kelinci, bukan kelinci kaku karena tersusun dari balok.
Wah, wah, aku malah baru tahu kalo lego ini bisa dibentuk-bentuk seperti itu, dulu pikiranku hanya terbatas pada bangunan dan kolam. Ayo bertepuk tangan yang keras kawan.
"Wih bagus banget, pinter kamu buatnya," pujiku yang membuatnya malu-malu kucing
Arggghh imoet sekali. Boleh nggak pipinya aku gigit?
"Aku juga bisa buat Boo sama Kebo. Tunggu sebentar ya, Kak Bumi. Aku buat dulu."
Aku membolakan mata ekspresif untuk mengapresiasinya. Kuangkat kedua jempolku. "Wah, Kakak jadi nggak sabar, nih."
Dia terkekeh lalu segera fokus pada aktivitasnya sendiri.
Aku pun memilih duduk di dekat Sus Emy yang sedang mengawasi Alina.
Tiba-tiba pengasuh Alina itu membuka obrolan dengan pertanyaan yang membuatku menahan napas dan membolakan mata. Katanya,
"Mbak Bumi nyariin Bapak, ya?"
Yoh, yoh, ini aku yang terlalu gampang ditebak atau memang orang-orang punya indra keenam? Kok rasa-rasanya semua orang tahu kalau aku sedang mengincar Mas Lintang untuk jadi cemimiwku alias pacarku.
Dia tertawa karena menebak sesuai tembakan.
Aku yang terkejut hanya bisa meringis mendapatkan pertanyaan itu. Ingin rasanya menyembunyikan wajah ini di bawah bumi.
Eh,tapi aku takut dikubur sih. Nggak jadi deh.
"Nggak usah malu, Mbak. Saya senang kalau Mbak Bumi mau mendekati Pak Lintang."
Mendengar ucapan Sus Emy seperti mendapat dukungan lengkap dari semua orang setelah Mas Langit, Tante Riana, dan Mbak Berlin memberi lampu hijau beberapa waktu lalu.
Ini Tuhan lagi ngasih jalan mulus ke aku 'kan? Nggak mungkin ada jurang atau tanjakan di depan 'kan? Ih, takut, biasanya yang lurus-lurus entar dikasih rintangan berat.
Tapi nggak papa, selama semua orang mendukungku, aku akan berjalan maju terus.
Kalo Tuhan yang nggak setuju?
Ssuuut monolog, diem, biarin aku seneng dulu napa.
Okey, kembali ke realita.
Mengetahui semua orang mendukungku, sepertinya aku perlu meningkatkan presentase pendekatan dengan Mas Lintang agar perasaannya menunjukkan statistik yang menanjak meski secara perlahan.
Aduh aduh bahasanya udah kek penilitian aja.
Aku pun memanfaatkan waktu mengobrol itu untuk bertanya-tanya pada Sus Emy tentang Mas Lintang selama di rumah.
"Jadi nggak papa nih, Sus, kalau saya deketin Mas Lintang?" tanyaku yang membuatnya terkekeh.
"Justru saya senang karena Pak Lintang didekati oleh Mbak Bumi. Saya itu kasihan sama Pak Lintang. Apa-apa selalu dilakukan sendiri, nggak ada yang membantu. Setiap hari selalu sibuk dengan pekerjaan dan Alina. Seperti tidak memiliki waktu untuk diri sendiri."
Aku hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan Sus Emy tentang Mas Lintang.
"Emang nggak ada wanita lain yang datang untuk bertamu atau memperlihatkan kedekatannya dengan mas lintang, Sus?" tanyaku sedikit mengorek kehidupan Mas Lintang yang belum kuketahui.
"Boro-boro, Mbak. Bapak itu nggak pernah peduli dengan wanita-wanita di sekitarnya. Tapi kayaknya kalau ke Mbak Bumi sepertinya Bapak memiliki sikap yang sedikit berbeda."
Entah kenapa mendengar penjelasan dari Sus Emy membuatku seperti ingin melayang. Padahal aku sendiri jelas taju kenyataannya. Namun jika suatu daat benar Lintang memberikan lampu hijau padaku, ya tentunya tak akan kusia-siakan kesempatan itu.
Aku pura-pura malu.
"Ah, Sus Emy bisa aja. Jangan buat saya terbang sampai langit ke tujuh gini, dong. Nanti saya jatuhnya sakit loh, apalagi kalau tahu ada penolakan."
Sus Emy menepuk bahuku sambil berkata, "Yakin saja, Mbak. Perasaan saya bilang, Mbak Bumi sama Pak Lintang cocok sekali. Feeling saya nih jarang sekali melenceng."
Mendengar hal itu saja sudah membuat semangatku menggebu, seperti kuda yang siap berlari mengejar garis akhir.
Astaga, aku benar-benar tidak sabar bisa lebih dekat kepada Mas Lintang. Memang pesona duda tampan selalu terdepan. Apalagi buat cewek cantik dan baik hati seperti aku. Uhuk!
"Terus terus, Sus, kalo dark segi tipe, kira-kira saya masuk kriteria cewek yang disukain Mas Lintang nggak?"
Sus Emy terlihat berpikir sejenak, dia pun mengangguk dan akan berkata sesuatu, tetapi suaranya tercekat.
Aku menaikkan kedua alisku ketika Sus Emy memberikan kode yang tak kupahami.
“Apa?” tanyaku lirih pada Sus Emy.
Pengasuh Alina itu masih memberi kodd lewat matanya. Aku masih tak paham maksudnya. Akhirnya dia menyerah untuk berkode-kodean denganku.
“Ada Bu Sarah, mamanya Alina,” ungkap Sus Emy yang membuatku melotot kaget.
Duh, ini 'kan mantan istrinya Mas Lintang?!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...