Aku berdiri menatap tiga pusara yang salah satunya masih basah.
Sudah dua hari Mas Langit tidur tenang di bawah sana sejajar dengan Papa dan Mama, meninggalkanku dengan sejuta kesedihan dan beban pikiran.
Bagaimana rasanya berkumpul dengan Papa dan Mama, Mas? Bagaimana sambutan mereka? Apakah mereka bahagia atas kedatanganmu atau mereka malah marah karena kamu meninggalkan aku?
Pertanyaan itu tak memiliki jawaban, sebab memang tak ada yang bisa menjawabnya. Aku pun hanya bertanya pada angin yang berlalu menghembuskan syal hitam di leherku.
Aku menengadah pada langit sore yang harusnya berwarna orange tetapi karena hari itu mendung menjadikannya kelabu.
Dulu aku tak tahu alasan mengapa mama dan papa menamaiku Bumi sementara masku itu Langit. Kini semenjak Mas Langit pergi, aku tahu alasannya. Mereka ingin aku tahu bahwa di ujung bumi mana pun, langit tetap terlihat. Mau bumi sehancur apa pun, langit tetap di tempat.
Artinya, sampai kapan pun langit akan tetap ada. Mau Bumi hancur diterpa meteor atau bertabrakan dengan planet mana pun langit tetap abadi.
Begitupun dengan Mas Langit yang akan tetap hidup di sekitarku meski raganya telah tidur bersama takdir. Dia akan tetap dengan gagah berada di atas mengawasiku ke mana pun aku melangkah.
Itu hal yang membuatku mengurungkan niatku untuk ikut pergi bersamanya. Dia pasti kecewa melihatku yang dianugerahi kehidupan oleh Tuhan tapi berniat menyia-nyiakannya.
Aku menghela nafas sembari tetap melihat luasnya angkasa.
"Mas, aku izin pergi untuk melanjutkan hidup. Meski ragamu di sini, kuharap jiwamu tetap di sisiku ke mana pun aku melangkah. Aku tak berat meninggalkan tempat ini sebab ragamu akan dijaga oleh Papa dan Mama. Aku akan datang lagi nanti setelah gelar sarjanaku tersematkan di belakang namaku. Doakan aku sukses sidang minggu ini. Selamat tidur, Mas. Aku mencintaimu sepenuh hati."
Angin berhembus sekali lagi, kini diiringi dengan gerimis yang mulai jatuh membasahi bumi.
Aku tahu itu tanggapannya. Mas Langit sedang mengusirku agar aku cepat pergi dari sana agar tak ketinggalan pesawat.
Bahkan dia tetap bawel meski telah pergi sekalipun.
Aku tersenyum tipis dan berpamitan kepada orang tuaku sebelum akhirnya berlari keluar area pemakaman menuju mobil mobil hitam yang tadi mengantarku ke tempat itu.
"Sudah?" tanya Pak Galuh yang bediri di samping mobil hitam itu.
Aku mengangguk. Dia menyuruhku langsung masuk ke dalam sebab hujan turun semakin deras.
Mbak Dania di kursi samping kemudi menoleh kala pintu belakang dibuka. "Sudah, Bum?" tanyanya yang membuatku mengangguk.
Sebenarnya aku tak sendirian, tadi ditemani oleh Pak Galuh dan Mbak Dania. Namun mereka kusuruh pergi duluan sebab aku sedikit lama berpamitan dengan keluargaku.
"Kamu beneran mau ikut terbang hari ini? Nggak mau di sini dulu seminggu? Masalah sidang bisa saya bantu atur ulang," ujar Pak Galuh setelah melajukan mobilnya dengan tujuan bandara Juanda.
Aku di jok tengah mengangguk. "Aman, Pak. Kata Mas Langit pendidikan nomor satu. Dia bawel kalo saya tunda lagi sidangnya."
Aku merasakan Pak Galuh menatapku lewat kaca spion tengah, mungkin dia kaget aku setenang itu membahas tentang Mas Langit. Kutatap balik, terlihat dia mengulas senyum tipis.
"Nanti berkunjung ke sini kapan? Biar saya temani," ujarnya.
"Saya bukan anak kecil yang harus ditemani, Pak. Aman jalan sendiri ga mungkin kesasar," kelakarku yang membuatnya berdecak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...