Aku melangkah masuk ke dalam rumah Mas Lintang sembari menoleh ke sana-ke mari.
Seperti janjiku kemarin, pagi ini aku akan mengantar Alina pergi ke sekolah.
"Mbak Bumi, kata Bapak, Mbak ya yang mau mengantar Alina sekarang?"
Aku mengangguk. "Iya, Sus. Alinanya sudah siap?"
"Sudah Mbak, lagi pamitan sama Bapak," ujarnya yang membuatku mengangguk dan memilih menunggu di ruang santai.
Tak berapa lama, Alina keluar dari kamar Mas Lintang bersama sang empu.
"Sudah siap?" tanyaku seceria mungkin.
Alina mengangguk kecil, lalu menghadap ke arah bapaknya. "Papa, aku berangkat, ya," ujarnya sembari menundukkan setengah tubuhnya.
Setelah menerima jawaban dari Mas Lintang, Alina berjalan ke depan ditemani Sus Emy.
"Aku langsung berangkat. Doain aku ya ...," ujarku lirih pada Mas Lintang sembari berjalan mengikuti langkah Alina dan Sus Emy.
Pacarku itu tersenyum tipis dan melambai ke arahku. "Good luck," katanya seolah aku sedang menghadapi sesuatu yang wow. Mas Lintang bahkan memberikan kepalan tangan semangat untukku.
Dia suportif sekali ternyata. Makin lopek lopek deh.
Sesampainya di depan, Alina ternyata sudah masuk ke mobil lebih dulu. Tinggallah Sus Emy yang menunggu kepergian kami.
"Mbak Bumi beneran yang jemput Alina nanti? Saya diminta Bapak untuk libur hari ini."
Aku mengangguk pasti dan menepuk dada. "Tenang, Sus. Pengangguran sejati ini akan mengantar dan menjemput Alina dengan selamat sampai tujuan."
Wanita seumuran Mas Lintang itu tertawa. "Oke, Mbak Bumi. Terima kasih, ya," katanya.
Aku mengacungkan jempol dan memasuki mobil Mas Lintang.
"Ready?" tanyaku yang membuat Alina mengangguk.
"Okey, gooooo," ujarku sembari melajukan mobil menuju sekolah Alina.
Selama perjalanan Alina tetap diam. Aku mengoceh sendirian seperti sebelumnya.
Tak apa karena memang aku bercerita bukan bertanya kepada anak itu.
Pagi ini Alina terlihat lebih nyaman berada di sekitarku tak seperti kemarin raut wajahnya yang terlihat arogan dan tak mau disentuh.
Ya ... meskipun dia belum mau bertukar tatap denganku.
Setelah melewati beratus-ratus meter jarak, akhirnya mobil yang kukendarai tiba juga di sekolah elit tempat Alina belajar.
"Jam berapa pulang nanti?"
"Setengah tiga sore," jawab Alina.
Aku mengangguk.
"Belajar yang giat, ya. Biar jadi orang cerdas kayak Papa," ujarku sebagai salam perpisahan.
Alina mengangguk, tetapi dia tak mengucapkan apa pun. Dia juga tak beranjak dari kursinya membuatku bingung harus melakukan apa.
Suasana tiba-tiba hening dan canggung.
"Ada ... yang tertinggal?" tanyaku yang membuat dia menggeleng.
"Lalu?" tanyaku lagi yang kini membuat Alina menatapku.
"Sorry, Kak Bumi," katanya singkat lalu meninggalkanku dengan terburu.
Aku terdiam sebentar, lalu terkekeh melihat kegengsiannya saat mengucapkan sorry padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...