Kejadian tadi sungguh memalukan. Aku tak hentinya meminta maaf atas kesalahanku tadi. Meski Mas Lintang terlihat tak mempermasalahkan, tetapi hatiku sungguh tak nyaman.
"Saya nggak papa. Nggak memar meskipun ditepis keras," ujarnya sembari tetap fokus menyetir.
Hey, maksudnya gimana?
Aku merengut, sedangkan dia tertawa. Tawa yang renyah dan candu untuk didengar.
Aku terdiam menatapnya selama dia tertawa. Cukup tampan meskipun mulutnya sedang menganga. Sayang sekali kamu terlahir sebagai kakak dari Lintang Brengsek Selatan. Jika tidak, hati ini sudah jatuh sejatuh-jatuhnya pada dirimu, duda beranak satu itu.
Aku membuka masker yang sedari tadi melekat di wajahku. "Lagian Mas Lintang tadi ngapain deket saya. Saya kira ada hewan tadi."
Dia menoleh sebentar. "Saya tadi penasaran aja buku apa yang kamu baca sampai kamu seserius itu."
"Papa, mau ice cream."
Tiba-tiba Alina muncul di antara kursi dudukku dan Mas Lintang, membuat aroma kucingnya tercium oleh indra penciumanku. Seketika hidungku gatal. Sepertinya setelah ini aku akan meler-meler. Aish!
Aku menahan napas untuk sebentar sekaligus menjauhkan kepala.
"Ice cream?"
Mas Lintang terlihat menimbang sebentar.
Terlalu lama padahal anaknya sudah sangat berharap, akhirnya aku yang menjawab.
"Yuk, di mana? Biar aku traktir kamu," ucapku sembari menoel hidung mungil Alina.
Mas Lintang menoleh dengan menghela napas.
Aku salah bicara?
"Ya?" tanya Alina pada Mas Lintang yang membuat pria berumur 39 tahun itu tersenyum tipis.
"Nanti, ya. Papa lagi ada urusan."
Alina terlihat murung dan kecewa mendengar jawaban Mas Lintang. Namun dia menurut. Kulihat mata anak kecil itu berlinang. Namun tak dia tampakkan. Mungkin dia tak ingin papanya tahu. Alina hanya mengigit bibirnya sembari mengambil Boo untuk dia peluk. Duh, anak imut begitu mengapa permintaannya ditolak, sih. Padahal beli ice cream tak memakan waktu lama. Urusannya kan bisa nanti-nanti.
Dengan wajah penuh pertanyaan, aku kembali menatap ke depan.
"Kalo Mbok Sari lagi libur gini, yang ngurus Alina semuanya Mas dan Selatan?" tanyaku membuka suara. Plis, baru saja suasana terasa tak nyaman. Aku jadi bersalah karena merasa akulah penyebabnya. Apa karena aku tadi semena-mena, ya?
"Biasanya sebelum Mbok Sari libur, Alina sudah sama mamanya, tetapi karena Mbok Sari liburnya mendadak ya ... terpaksa Alina sama saya dulu karena mamanya lagi di luar kota. Besok baru bisa nemuin saya."
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
"Yang cebokin Alina siapa?"
Tiba-tiba pertanyaannya random itu muncul di otakku. Hei, aku tidak merasa mengatakannya? Mengapa terdengar di telingaku? Ah, memalukan sekali. Bodoh sekali kamu, Bum. Ya, siapa lagi kalo bukan dia, bapak kandung Alina.
Mas Lintang tertawa. "Ya ... saya. Kamu kira Selatan mau megang feses Alina? Feses dia aja kalo netes nggak mau dia lihat."
Aku terkekeh dan segera mengalihkan pembicaraan. Topik tentang mantan memang harus dihindari demi keselamatan hati yang kini ketar-ketir.
"Aku kalo tanya tentang Mbak Sarah lancang nggak sih, Mas?"
Mas Lintang menoleh sebentar. "Memang Mbak Bumi penasaran tentang apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Pacar Kakakmu! [END]
Teen FictionArbumi Regina menjalani sebuah hubungan spesial dengan tetangganya, yakni Lintang Selatan. Karena mereka ingin tenang menjalani sebuah hubungan, akhirnya keduanya melakukan backstreet relationship. Sayangnya, tiga tahun berpacaran, Selatan berseling...