12. Woyyyylaaah

4K 252 7
                                    

"Apakah sosok itu Mbak Bumi?"

Loh, loh, loh?

Ini gimana maksudnya?

Aku disuruh jadi mamanya Alina gitu? Ya Tuhan, kenapa Engkau sekarang fast respons? Jangan cepet-cepetlah, kasihan jantung ini kalau terkejut-kejut.

Jangan sampe Mas Lintang bilang: canda Mbak, serius amat. Kan nggak lucu.

Aku mengedipkan mata beberapa kali karena terkejut oleh perkataannya.

Dia juga terlihat terkejut.

Lalu aku tersentak dan membuka mata.

Yaelah.

Ternyata, oh, ternyata percakapan aku dan Mas Lintang semalam hanya mimpi. Aku masih di atas kasur Alina dengan Alina memeluk tubuhku sejak ruangan masih gelap sampai sekarang sudah terang benderang seperti ini.

Oalah jancooook.

"Kok tahu kamar Alina?"

Aku mengerutkan kening. Mas Lintang ada tamu? Atau keluarganya sudah datang?

"Tanya Latan semalam. Emang niat mau mampir pagi-pagi sekalian ke kampus."

Lah, kok cowok? Jangan-jangan temennya?

Aku memfokuskan pendengaran. Sepertinya aku kenal dengan suara ini.

"Belum beli sarapan 'kan? Ini gue bawain."

"Thanks," ujar Mas Lintang.

Dari suaranya sih kayak Pak Galuh.

Aku kembali mengintip. Lah, emang iya. Dosen paling cakep seantero kampusku itu sedang duduk tampan di sofa.

"Bentar lagi temen-temen pada mau ke sini juga."

"Lu pengumuman ke temen-temen, ya? Salah emang ngasih tahu lu. "

"Sebentar doang aelah. Mereka penasaran sama anak lu."

Waduuuh, mana masih belekan lagi. Apa pura-pura tidur aja, ya? Iya, kali.

Eh, tapi kan mereka mau jenguk Alina, pastinya mereka mendekat ke arah sini.

"Sudah bangun?"

Aku melotot, kok bisa tahu aku udah bangun? Padahal aku nggak gerak sama sekali loh.

Jangan peka-peka dong, Mas. Udah ngobrol aja sana.

"Siapa? Mantan istrimu?"

"Adiknya Langit," jawab Mas Lintang.

Mau tak mau akhirnya aku mengangkat kepala. "Hehe, iya, Pak."

Mas Lintang mendekat ke arah brankar.

"Maaf, ya, jadi ngerepotin Mbak Bumi. Alina kalo tidur pas sakit memang maunya dipeluk. Seharusnya semalam Mbak Bumi bangunkan saya saja," ujarnya sembari melepaskan anaknya yang melekat ditubuhku seperti anak koala.

"Nggak papa, Mas. Nggak repot."

Setelah terbebas, aku bangkit sembari memperbaiki rambutku yang mengembang seperti singa ini.

"Apa kabar, Pak Galuh?" sapaku pada Pak Galuh.

Dia tersenyum tipis dan mengangguk. Ya Tuhan, aku yang sedang seperti gelandangan ini berhadapan dengan dua pria yang cakepnya sebelas dua belas sama Dewa Yunani.

Selalu begitu. Kayaknya Tuhan seneng banget memperlihatkan aibku pada orang cakep. Giliran sudah cantik harum, elegan, nggak ada yang lihat.

"Sarapan, Mbak."

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang