29. Pacaran Hari Pertama (2)

4.8K 254 4
                                    

"Oh engga, saya salah, ternyata manis banget," ujarku yang membuatnya tertawa renyah. Lalu tiba-tiba dia memasang wajah serius. "Tapi sepertinya penilaian kamu agak salah, karena barusan rasanya sedikit aneh. Saya coba lagi boleh? Buat memastikan."

Aku menahan senyumku. Oke, kita lanjutkan drama alay ini. "Oh, ya? Boleh, boleh."

Aku menutup mata dan memonyongkan bibirku.

"Kak Bumi, Papa?"

Suara Alina itu mampu membuatku dan Mas Lintang otomatis segera memisahkan diri.

Sudah terlatih pencitraaan, aku memasang muka tebal dan berlagak seolah tak ada apa-apa barusan. "Why, Alina? Butuh sesuatu?" tanyaku sembari mendekati anak Mas Lintang itu yang berada di ambang pintu dapur dengan buku dongeng dalam pelukannya.

Bentar-bentar, dilihat dari ekspresi anak itu, sepertinya dia melihat kejadian tadi? Eh, engga, engga dia tak lihat tapi terkejut dengan posisiku yang terlalu dekat kepada bapaknya. Eh, sok tahu deh. Aku tak bisa membaca pikirannya.

Anak kecil itu mengangguk. "Ayo berangkat, aku nggak sabar beli-beli."

Mas Lintang dari belakang bersuara, "Oke, Tuan Puteri, Papa makan dulu sebentar, ya. Main dulu sama Boo."

Alina mengangguk singkat sebelum akhirnya berlari ke arah kucingnya berada.

Aku mendekati Mas Lintang yang sudah duduk di kursi makan.

"Dia lihat nggak, ya?" ujarku yang baru mengambil posisi duduk di seberang Mas Lintang.

Pria itu tampak berpikir sebentar. "Menurut saya engga. Kalau seandainya iya, dia seharusnya memanggil kita sejak sebelumnya."

Aku mengangguk-angguk. "Eh, tapi bisa juga dia sempet nge-freeze kaget lihat kita."

"Masuk akal juga," katanya santai seolah jika memang terjadi ya tak apa-apa. Asyiiiiik.

"Gimana ya reaksi Alina pas tahu kita ada something?"

Mas Lintang terlihat berpikir sejenak. "Kemungkinan terbesar dia senang."

Aw, aw, aw jalan mulus gaisss.

"Kalau dia nolak saya?" tanyaku yang membuatnya kembali berpikir.

"Saya juga nggak tahu, selama ini dia selalu welcome kepada orang yang datang padanya."

Iya juga sih.

Percakapan kami berakhir ketika kulihat piring Mas Lintang kosong. Kami pun segera bersiap-siap dan pergi menuju super market dekat perumahan mengendarai mobil Mas Lintang tentunya.

"Alina, naik sini mau nggak?" tanyaku pada Alina yang sedang memilih-milih sesuatu di rak jajan-jajan terpajang.

Dia mengangguk senang dan segera berlari ke arahku untuk duduk di atas troli belanjaan.

"Siap berbelanja?" tanyaku yang membuatnya menjawab dengan semangat. "Siap!" jawabnya dengan intonasi seperti akan memulai peperangan.

Mas Lintang yang melihat itu tersenyum  tipis.

Kami pun segera mengelilingi supermarket itu untuk mencari keperluan-keperluan Alina.

Saat aku sedang terpisah dengan Alina dan Mas Lintang, dua orang wanita berbisik-bisik membicarakan ketampanan paripurna pacarku itu. Repot sekali kalo punya pacar yang ketampanannya tak bisa ditutupi. Ingin rasanya kumasukkan ke karung agar tak ada lagi yang melihat kegantengan pacarku itu.

Tidak, aku tak mau berbagi. Huh.

"Sana minta nomernya. Siapa tahu dia duda. Auranya si dia nggak punya istri."

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang