13. Simulasi Jadi Ibu Nggak, Sich?

4.8K 254 1
                                    

Sudah sebulan sejak kejadian Alina sakit, kini anak itu semakin sehat. Dari kaca jendela kamarku, aku bisa melihat dia berlarian di halaman rumahnya menghabiskan penghujung hari dengan bermain mengejar Boo.

Aku memutuskan untuk menghampirinya karena rumah ini hening sekali akibat Mas Langit yang semakin sibuk di rumah sakit.

Melihat kedatanganku, dia menyambutku dengan berteriak senang sembari berlari ke arahku. Sejak sesi curhat di rumah sakit waktu itu, aku dan Alina benar-benar semakin dekat. Anak itu terus-terusan bercerita kepadaku tentang perasaannya. Terakhir, dia bercerita tentang kesedihannya mengetahui Mas Lintang akan berhenti dari profesinya untuk menjaga Alina. Padahal, Alina senang sekali ayahnya itu menyembuhkan orang-orang yang sakit.

Katanya, "Aku tahu rasanya sakit, Kak, dan aku senang sekali ketika dokter berhasil membuat aku sehat. Dia seperti malaikat untukku. Kalo Papa berhenti, berarti satu malaikat di dunia ini berhenti dari tugasnya."

Ini perkataan anak umur empat tahun loh. Setiap Alina bercerita, aku selalu speechless mendengarnya. Bahkan sepertinya lebih bijak Alina dalam urusan hidup daripada aku sendiri. Benar-benar anak yang cerdas.

Ya Tuhan panjangkanlah umur anak itu.

"Kak Bumi aku mau peluk, tapi tadi aku peluk Boo, Kak Bumi nggak papa?" tanyanya dengan mata polos.

Ya siapa yang mau nolak kalo yang minta izin orangnya seimut ini.

Aku mengangguk. "Ya boleh dong," jawabku yang membuatnya senang dan langsung memelukku seolah tak bertemu setahun lamanya padahal baru kemarin aku menemaninya bermain.

Setelah puas, dia kembali bermain dengan kucingnya. Aku memilih duduk mengemper di sebelah Sus Emy yang mengawasi Alina dari tempat duduknya.

"Mas Lintang ke mana, Sus?" tanyaku pada wanita yang seumuran dengan Mas Lintang ini.

"Kayaknya ke rumah sakit, Mbak."

Aku mengangguk-angguk. "Denger-denger dari Alina, Mas Lintang mau resign, ya?"

Dia mengangguk mantap. "Niatnya sih udah lama, sejak Alina pertama kali di diagnosis tapi memang selalu aja ada halangan. Bulan ini katanya mau bener-bener berhenti."

Aku mengangguk-angguk, lalu Sus Emy bercerita panjang tentang Mas Lintang yang selalu khawatir ketika meninggalkan Alina. Kekhawatirannya begitu tinggi terhadap anaknya sehingga membuatnya selalu tak tenang bekerja di rumag sakit. Apalagi sejak kejadian sebulan lalu, membuatnya memantapkan diri untuk berhenti dari pekerjaannya.

Susah juga, ya. Anaknya senang sekali ayahnya terus menyembuhkan orang, tetapi ayahnya ingin berhenti menyembuhkan orang.

Bertepatan setelah Sus Emy bercerita, Mas Lintang menelepon Sus Emy mengabarkan bahwa akan pulang telat karena ada operasi mendadak. Aku langsung menyahut.

"Mas, nggak usah khawatir, ada aku juga yang siap jaga Alina sampe Mas Lintang datang."

Mas Lintang terdengar lega. Dia sangat berterima kasih padaku. Sepertinya memang pria itu sangat khawatir terhadap anaknya. Mendengar aku ikut menjaga Alina membuatnya sedikit lebih tenang.

"Saya nanti malam ada acara, Mbak. Nggak bisa stay di sini sampai malam. Gimana, ya? Tadi udah izin Bapak, kayaknya lupa. Nggak enak banget barusan yang mau nolak Bapak," ujar Sus Emy.

Aku menjadi pahlawan kesiangan. "Tenang, Sus. Ada aku si Tetangga Pengangguran. Sus tinggal jelasin apa yang harus aku lakuin selama jaga Alina."

Dia mengangguk kesenangan lalu memberiku les tentang penjagaan Alina yang tidak boleh makan selain makanan yang sudah disiapkan. Aku tidak perlu menyuntik dan segala macamnya karena Sus Emy di sini sampai jam makan malam Alina. Dia juga memberitahuku tentang pekerjaan rumah Alina untuk besok.

Jadi Pacar Kakakmu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang