Selamat Membaca
Sebelum baca sampai bawah, nggak boleh nulis komentar yang kasar buat Semesta ya hehe
"Nggak apa-apa kan aku dekat dengan Sania, Na?"
Itu adalah pertanyaan pertama yang Semesta ajukan kepada Jena ketika hanya tersisa mereka di meja makan malam ini. Setelah kejadian siang tadi, keduanya tidak banyak bicara. Jena cukup terkejut karena kali ini Semesta terlihat bersungguh-sungguh.
"Aku menyukai Sania sejak awal perkuliahan. Selama ini kami berteman, dan setelah banyak berpikir, aku nggak cukup kalau hanya berteman dengan Sania," ucap Semesta dengan begitu lancar, yang membuat Jena menunduk, menatap secangkir cokelat hangat miliknya. "Nggak apa-apa kan, Na?" tanyanya sekali lagi yang membuat Jena mendongak, menatap Semesta tepat di kedua mata lelaki itu, sebelum tersenyum dan mengangguk pelan.
"Nggak bilang ke aku juga nggak apa-apa. Mas Esta berhak memilih siapa yang bisa membuat Mas bahagia."
Tangan lelaki itu terulur, meraih tangan Jena, dan menggenggamnya, "Rumah ini, Tiara, Bio, Ibu, dan kamu, sudah sangat memberi aku banyak bahagia setelah apa yang sudah Tuhan ambil. Tapi, masih boleh kan aku membawa Sania untuk menjadi bagian dari keluarga ini, Na?"
Kedua mata Jena berkaca-kaca, mendengar Semesta berbicara setulus ini, meminta agar Sania diterima, membuat gadis itu tidak mempunyai pilihan lain selain mengangguk pelan dengan senyuman tipis. Ia bukan siapa-siapa untuk Semesta. Menolak pun, Jena tidak mempunyai hak. Meski memperlakukannya dengan begitu baik, namun hubungan mereka hanya sebatas majikan dan pembantu.
Jena tidak boleh melupakannya.
***
Setelah malam itu, Semesta mulai menunjukkan hubungannya dengan Sania tanpa ditutup-tutupi. Keduanya sering berangkat dan pulang bersama. Menghabiskan waktu di kantin kampus sembari menunggu jam kuliah. Bermain bersama teman-teman Sania atau pun teman Semesta.
Julukan baru disematkan kepada dua orang itu. Couple goals. Siapa yang tidak berpendapat hal yang sama, jika dilihat dari segi mana pun, termasuk masalah materi, Semesta dan Sania memang sepadan. Berbeda dengan Jena.
"Pokoknya aku bakal ngambek sama Mas Esta sampai ulangtahunku nanti," dumel Tiara yang pagi ini sedang berbelanja di pasar menemani Jena. "Mana boleh sampai nggak pulang kayak semalam."
Semalam, seusai jam kuliahnya habis, lelaki itu pamit kepada Ibu untuk tidak pulang, dan menginap di rumah temannya. Meski setelah itu, Jena malah menemukan Semesta yang tengah berpesta di salah satu klub malam bersama teman-temannya dan Sania.
Lagi-lagi, Jena tidak berhak marah. Mungkin saja saat ini, Semesta telah memiliki kebahagiaan yang lain. Beberapa hari ini, tanpa terasa, Semesta dan Jena tidak berkomunikasi seintens dulu. Keduanya tiba-tiba saja tidak saling memberi kabar lagi seperti sebelum Semesta berpacaran dengan Sania.
Dan, Semesta baik-baik saja dengan itu. Padahal dulu, ia selalu marah jika Jena telat memberi kabar meski hanya selisih beberapa menit. Jena hanya sedikit tidak menyangka jika seseorang mampu berubah secepat itu.
"Mbak Jena, awas!"
Jena menoleh, dan terlambat. Karena terlalu sibuk dengan isi kepalanya, gadis itu tidak menyadari jika ia sudah berada di jalan raya, hendak menyebrang, sebelum sebuah motor tiba-tiba saja melintas dengan cukup cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTANYA JENA
RomanceSemesta sudah memiliki banyak beban di usianya yang masih muda. Hidup Jena mungkin susah, namun menjadi Semesta jauh lebih susah. Dan, ketika lelaki itu akhirnya menemukan kebahagiaannya pada diri gadis lain, maka Jena tidak berhak merasa marah. Ia...